Klenteng Sam Poo Kong di Semarang, Jawa Tengah, berhubungan dengan muhibah atau perjalanan Laksamana Cheng Ho. Menurut inskripsi di Klenteng Sam Poo Kong yang ditulis dalam tiga bahasa, Inggris, China, dan Indonesia, tercatat Cheng Ho telah dua kali datang ke Kota Semarang, yakni pada 1406 dan 1416 M.
Asal nama Sam Poo Kong diceritakan berasal dari nama Cheng Ho.
Laksamana Cheng Ho merupakan sidasida (pria yang dikebiri dan
mengabdikan diri pada istana) yang berasal dari Yunan dan biasa disebut
San Pau. Sementara, orang-orang dari daerah Fukien menyebutnya dengan
nama Sam Po. Diketahui, orang-orang China perantauan di Simongan berasal
dari Fukien.
“Cheng Ho disebut Sam Po Tay Djien atau Sam Po Tao Lang yang
berarti Tuan Besar Sam Po,” ujar Djawahir Muhammad, Budayawan Semarang.
Dalam buku Laksamana Cheng Ho dan Klenteng Sam Po Kong; diceritakan
tentang asal usul Cheng Ho. Ia dilahirkan di Desa He Dai, Kabupaten
Kunyang, Provinsi Yunan, pada tahun Hong Wu ke-4 (1371 M). Keluarganya
bermarga Ma, dari suku Hui yang mayoritas beragama Islam.
Saat itu ekspedisi Cheng Ho mengerahkan armada raksasa. Pada
muhibah pertama, tercatat sebanyak 62 kapal besar dan belasan kapal
kecil dengan 27.800 ribu awak dikerahkan. Kapal yang ditumpangi Cheng Ho
sendiri yang disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad
ke-15. Panjangnya 44,4 zhang (138 meter) dan lebar 18 zhang (56 m).
Armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho itu pun berangkat pada
tahun 1405. Armada itu singgah di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung
Priok) dan di Muara Jati (Cirebon). Saat menyusuri Laut Jawa, Wang
Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Mereka mendarat di
Pantai Simongan, Semarang, dan tinggal sementara di sana.
Wang, yang kini dikenal sebagai Kiai Jurumudi Dampo Awang, akhirnya
menetap dan menjadi cikal bakal warga Tionghoa di sana. Wang juga
mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut Mbah Ledakar
Juragan Dampo Awang Sam Po Kong), dan membangun kelenteng Sam Po Kong
atau Gedung Batu.
Walau Laksamana Cheng Ho beragama Islam, warga China non–Muslim
tetap memujanya. Sosok Cheng Ho sangat dihormati tak hanya oleh warga
Tionghoa, namun juga warga setempat.
Setiap malam Jumat Kliwon, mereka berkunjung ke Sam Poo Kong.
Dengan membawa bunga, mereka mendatangi patung Cheng Ho layaknya
mendatangi makam wali atau sunan. Hal tersebut tak beda jauh dengan apa
yang dilakukan warga Tionghoa yang menyembah Cheng Ho layaknya dewa.
Meski telah diketahui secara jelas bahwa Cheng Ho beragama Islam, namun
tak menyurutkan masyarakat Tionghoa untuk menyembah dan memujanya.
Penyembahan tersebut berawal dari salah kaprah menyikapi patung
yang dibuat orang-orang pendahulu. Berawal satu dua orang yang menyebut
keinginannya di depan patung Cheng Ho, namun ternyata terkabul.
Kabar pun berkembang. Warga Tionghoa mulai percaya patung Cheng Ho
dapat menjadi perantara doa mereka kepada Tuhan. Mereka pun mulai
menyembahnya.
“Sebenarnya pembuatan patung Cheng Ho oleh pemukim China bersama
Juru Mudi Cheng Ho yang beragama Islam tidaklah ditujukan untuk
menyembah laksamana besar itu. Patung Cheng Ho dibuat sebagai
penghormatan,” tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar