Minggu, 09 Agustus 2015

Dasar Hukum Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia

Setiap negara mempunyai hukum yang harus ditaati semua penduduknya. Termasuk juga didalamnya para WNA yang berada di negara tersebut. Jika dalam tatanannya terdapat kekeliruan maka hal tersebut akan dikembalikan kepada undang-undang. Jenis hukuman yang akan diterima pun juga akan disesuaikan dengan jenis kesalahan.

Begitu juga di negara Indonesia yang sudah mempunyai undang-undang, dimana dalam setiap keputusan untuk menghukum seseorang telah disesuaikan dengan dasar yang jelas. Dan di dalam penerapannya, hukuman tertinggi yang bisa diterima seorang narapidana di negara Indonesia adalah hukuman mati yang dilakukan dengan cara tembak sampai mati.

Pembaca yang budiman, seperti yang telah diberitakan oleh media-media lokal, nasional sampai media internasional. Di awal tahun 2015 ini, Indonesia menjadi sorotan dunia lantaran hukuman mati yang dilaksanakan pemerintah Indonesia terhadap terpidana mati kasus narkoba.

Presiden Indonesia terpilih periode 2014-2019, presiden Jokowi telah menolak grasi bagi terpidana mati kasus narkoba yang tertangkap. Penolakan grasi oleh presiden mempunyai arti bahwa usaha yang dilakukan oleh terpidana mati agar hukuman yang telah dijatuhkan pengadilan bisa dibatalkan atau sekedar dikurangi telah ditolak. Hal tersebut berarti keputusan pengadilan terus berlaku. Dan hukuman tembak mati yang diterapkan di negara Indonesia sudah menanti bagi terpidana. Baca juga Menumbuhkan Keyakinan Bahwa Beban Bukanlah Halangan Hidup.

Dasar Hukum Pelaksanaan Hukuman Tembak Mati di Indonesia

Pembaca yang budiman, suatu negara tentunya tidak akan ceroboh dalam menetapkan hukuman mati. Harus ada dasar hukum dalam melaksanakan hukuman mati bagi terpidana mati. Begitu pun di Indonesia yang telah mempunyai dasar hukum kuat yang digunakan dalam melaksanakan hukuman tembak mati.

Pasal UU2/PNPS/1964

Dijelaskan dalam Pasal UU2/PNPS/1964 bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati. Jika terpidana mati sedang hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
Dalam pelaksanaannya, eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil (Brimob) yang dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Regu tembak tersebut terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.

Peraturan Kapolri No.12 Tahun 2010
Pengaturan yang lebih teknis mengenai eksekusi pidana mati juga diatur dalam Peraturan Kapolri No.12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ("Perkapolri 12/2010"). Dalam Pasal 1 angka 3 Perkapolri 12/2010 disebutkan antara lain bahwa hukuman mati/pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar