Oleh: Ening Herniti
1. Pengertian
Sosiolinguistik
Berbicara mengenai sosiolinguistik (الاجتماعي اللغوي) berkaitan erat dengan bahasa (language)
dan masyarakat (society) serta fungsi-fungsi bahasa dalam masyarakat.
Bahasa didefinisikan sebagai alat komunikasi verbal yang dipergunakan oleh
masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok atau beberapa kelompok orang yang
sama-sama memiliki tujuan tertentu[1].
Secara
etimologis, sosiolinguistik berasal dari
kata sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur
dan proses-proses sosial[2].
Sementara itu, linguistik adalah disiplin yang mempelajari struktur bahasa
tanpa mengkaji konteks sosial tempat struktur itu dipelajari atau digunakan[3].
Jadi, sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari dan membahas
aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan yang terdapat
di dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan.
Menurut Fishman,
sosiolinguistik adalah ilmu yang
membahas hubungan antara pemakaian bahasa dan perilaku sosial[4].
Fishman memformulasikan sosiolinguistik adalah “siapa berkata apa”. Sementara
itu, formulasi Labov adalah “mengapa seseorang mengatakan sesuatu[5].
Wardhaugh mendefinisikan sosiolinguitik adalah ilmu yang mengkaji bahasa dalam
hubungannya dengan faktor-faktor sosial yang hidup di dalam masyarakat
penuturnya. Soetomo memberi definisi sosiolinguistik sebagai ilmu yang
membicarakan bentuk-bentuk serta perubahan bahasa dikaitkan dengan fungsi
sosialnya di dalam masyarakat pemakainya[6].
Lebih lanjut ia membedakan dengan istilah sosiologi bahasa. Berdasarkan objek
kajiannya kedua ilmu tersebut berbeda. Objek kajian sosiolinguistik adalah
bahasa, sementara itu, objek kajian sosiologi bahasa adalah manusia sebagai
anggota masyarakat yang berinteraksi satu degan yang lain lewat bahasa.
2. Latar Belakang
Sosiolinguistik
Sosiolinguitik lahir karena
ketidakpuasan ahli bahasa terhadap linguistik struktural yang hanya mengkaji
bahasa dari segi strukturalnya dengan mengabaikan faktor sosial dalam analisisnya. Konsep sosiolinguistik sebenarnya sudah
tampak pada laporan penelitian yang dilakukan Labov dengan judul The Social
Stratification of English in New York City[7].
J.R. Firth, pendiri linguistik aliran London,
berpendapat bahwa tuturan itu mempunyai fungsi sosial sebagai alat komunikasi
dan mengidentifikasikan kelompok-kelompok sosial. Oleh karena itu, studi
tentang tuturan tanpa mempertimbangkan mayarakat penuturnya akan kehilangan
kemungkinan-kemungkinan untuk menjelaskan struktur bahasa yang dipakai[8].
Menurut
Hymes, istilah sosiolinguistik mulai dikenal pada tahun 1960-an. Dekade ini
ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Language in Culture and Society
oleh Dell Hymes pada tahun 1966. Pada tahun 1968 Fishman menulis dalam kumpulan
karangan yang diberi judul Reading in The Sociology of Language. Pada
tahun yang sama Ferguson, Fishman, dan Das Gupta menerbitkan
kumpulan makalah yang diberi judul Language Problems of Developing Nations.
3. Metodologi
Metode yang digunakan adalah metode
linguistik dan sosiologi. Metode-metode linguistik dipakai untuk
mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa serta unsur-unsurnya dengan notasi
tanda-tanda fonetik/fonemik. Metode sosiologi biasa dipakai dalam mengumpulkan
data seperti, observasi, kuesioner, dan
wawancara. Analisisnya dapat menggunakan metode statistik, yakni untuk
mendapatkan pola-pola umun dalam tindak laku berbahasa.
Objek kajian sosiolinguistik dapat diteliti berdasarkan pada tiga langkah,
yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Ada prinsip
yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek
luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu
sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi.
Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan
aspek sosial (sosial budaya masyarakat). Seorang peneliti dalam bidang
sosiolinguistik harus dapat membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif)
dan bahasa sebagaimana seharusnya (preskriptif atau sering pula disebut
normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti
sebagaimana adanya. Oleh karena itu, bahan atau data linguistik yang diperoleh
harus bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh
dibuat-buat (contrived).
Ada dua metode penyediaan data yaitu metode observasi dan
metode wawancara Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian
linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan metode wawancara
disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993). Metode observasi adalah metode
penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya.
Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti pemakaian peribahasa, maka ia harus
mengumpulkan peribahasa itu bersama dengan teks-teks lain yang menyertainya,
para pemakai peribahasa itu, dan juga unsur-unsur nonverbal lain yang
melatarinya, termasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya. Pemakaian
metode observasi dengan bahan teks sebagai acuan disebut penelitian kepustakaan
(library research), sedangkan metode observasi dengan bahan teks dengan
konteks yang lebih luas disebut
penelitian lapangan (field research). Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan
pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak
terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai metode
observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta, sedangkan observasi
tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi nonpartisipasi
atau metode observasi tidak berperan serta.
Nama-nama metode ini lazim dipakai dalam literatur metodologi penelitian
sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial lainnya ( Nasution, 2004:
106-113). Perlu diberi catatan bahwa Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan
metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode
observasi nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap. Metode wawancara
adalah metode penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan
informan secara langsung.
Metode analisis dalam kajian sosiolinguistik ini dapat
dibagi ke dalam dua jenis, pertama, metode korelasi atau metode pemadanan, yakni metode yang berkaitan dengan pengkorelasian objek
bahasa secara eksternal dengan unsur nonbahasa, dan kedua, metode operasi atau metode distribusi, yakni metode yang berkaitan dengan pembedahan, pengolahan,
atau pengotak-atikan teks verbal secara internal. Metode korelasi adalah metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam
hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Metode operasi atau metode distribusi adalah metode analisis yang
menguraikan unsur-unsur substansial objek kajian dan mendistribusikannya dengan
unsur-unsur verbal lainnya untuk mendapatkan pola, aturan atau kaidah yang
berhubungan dengan konteks situasi dan sosial budayanya.
4. Objek Kajian
Objek sosiolinguistik adalah aspek
bahasa yang bersifat hiterogen (la parole), yakni bahasa dalam wujudnya
setelah terimplementasi dalam tindak komunikasi. Butir-butir penelitian
sosiolinguistik meliputi:
1)
Fonem
2)
Morfem
3)
Kata (leksikon)
4)
Frasa
5)
Klausa
6)
Kalimat
7)
Paragraf
8)
Wacana
9)
Dialog
10)
Ideolek
11)
Dialek regional
12)
Kronolek (dialek waktu)
13)
Sosiolek (dialek sosial): a. dialek umur
b.
dialek jenis kelamin
c.
dialek etnik
d.
dialek ideologi
e.
dialek kelas sosial
f.
dialek keterdidikan
14) unda usuk atau
tingkat tutur (speech level)
15) ragam: a.
formal (akrolek)
b. informal (basilek)
c. literer (sastra)
16) register
17) bahasa, yakni
makna pemakain atau pemilihan bahasa sebagai salah satu kode dalam masayarakat
tutur yang multilingual.
5. Tujuan
Sosiolinguistik membahas hubungan
antara pemakaian bahasa dan perilaku sosial. Dengan membahas pemakaian bahasa,
seseorang akan dapat mengetahui berbagai
kondisi, nilai-nilai , kepercayaan, sistem etika, aturan, dan lainnya yang
membentuk dan memberikan ciri khusus kepada kelompok-kelompok masyarakat
pemakai bahasa itu. Sosiolinguistik
mencatat dan menelaah bahasa yang dipergunakan seseorang ketika berbicara
dengan teman bicaranya. Selain itu, sosiolinguistik juga menelaah bahasa yang
dipergunakan seseorang dengan segala cara penyampaiannya, seperti tanda-tanda
berupa kata-kata maupun isyarat yang menyatakan bahwa ia sedang mendengarkan
baik-baik, setuju atau tidak setuju[9].
Keadaan sosiolinguistik Indonesia
cukup kompleks karena berdasarkan peta bahasa yang diterbitkan Lembaga Bahasa
Nasional (kini Pusat Bahasa) tahun 1972 bahwa ada kurang lebih 480 bahasa
daerah di Indonesia. Jumlah penutur tiap bahasa berkisar 100 orang (di Irian
Jaya) sampai kurang lebih 50 juta orang (bahasa Jawa)[10].
Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar hampir
di seluruh wilayah Indonesia,
terutama daerah perkotaan. Hampir 87% penduduk Indonesia
dapat mengerti bahasa Indonesia.
Sementara itu, lebih dari 65% penduduk Indonesia
dapat menggunakan bahasa Indonesia.
Pada umumnya, bahasa ibu orang Indonesia
adalah bukan bahasa Indonesia (sering disebut bahasa daerah) dan baru mengenal
bahasa Indonesia ketika masuk usia sekolah karena bahasa pengantar di sekolah
adalah bahasa Indonesia.
Namun, saat ini anak-anak Indonesia
sudah mulai mengenal bahasa Indonesia sejak masih kecil karena adanya siaran
televisi atau radio dalam bahasa Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia yang
hanya bisa menggunakan bahasa Indonesia meningkat karena adanya perkawinan
antarsuku. Selain itu, karena faktor ekonomi, di kota-kota besar di Indonesia
bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya jumlah bahasa
lain yang bukan bahasa Indonesia cukup banyak. Jumlahnya adalah 706 bahasa.
Dari jumlah tersebut, bahasa yang besar dari sudut jumlah pemakai adalah bahasa
Jawa, Sunda, Madura, Bali, Minangkabau, dan
Batak.
Jika menggabungkan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu lainnya,
jumlah penutur bahasa Melayu saat ini adalah sekitar 260 juta orang. Jumlah itu
diperoleh dari 234 juta penduduk Indonesia, 20 juta penduduk Malaysia, dan
beberapa ribu orang Melayu di Brunei, Singapura, Thailand, Filipina, dan Afrika
Selatan.
Sebagian besar orang Indonesia
belajar bahasa daerah sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu. Sementara itu,
mereka belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolah atau secara
informal dalam masyarakat.
7. Keadaan
Sosiolinguistik di Arab
Bahasa
Arab adalah bahasa yang masuk dalam subrumpun Semit dari rumpun Hamito-Semit
atau Afro-Asiatik. Bahasa ini termasuk dalam bahasa klasik yang paling luas
penggunaannya di dunia ini daripada bahasa-bahasa klasik lainnya, seperti
bahasa Latin, bahasa Sanskerta, bahasa Ibrani, dan bahasa lainnya. Hal
ini terjadi karena bahasa ini merupakan bahasa Quran yang dibaca oleh kaum
muslimin di penjuru dunia dan digunakan dalam penulisan maupun pembahasan
masalah-masalah yang terkait dengan keagamaan.
Setiap bahasa digunakan oleh
orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa Arab
adalah semua orang yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa Arab. Sebagai
salah satu bahasa besar dunia, masyarakat bahasa Arab menyebar luas di dua
benua, Asia dan Afrika. Selain itu, bahasa
Arab juga digunakan sebagai bahasa resmi di sekitar 22 negara yang total
populasi pemakainya mencapai kurang lebih 120 juta orang. Anggota masyarakat
suatu bahasa—termasuk juga bahasa Arab—biasanya beragam. Apakah itu dari segi
status sosial, atau pun latar belakang budaya yang tidak sama.
Bahasa Arab dilihat dari
ragamnya dapat dibedakan ke dalam dua macam bentuk, yaitu:
Pertama,
bahasa Arab fusha (ragam
standar). Menurut Emil Badi' Ya'qub, bahasa Arab fusha adalah bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an,
situasi-situasi resmi, penggubahan puisi, penulisan prosa dan juga
ungkapan-ungkapan pemikiran (tulisan-tulisan ilmiah). Secara umum bahasa ini
dapat diklasifikasikan dalam dua tingkatan, yaitu Bahasa Arab Klasik (Classical Arabic) yang digunakan dalam
bahasa al-Qur'an dan Bahasa Arab Standar Modern (Modern Standard Arabic) yang digunakan dalam bahasa ilmiah.
Kedua,
bahasa Arab amiyah (ragam
non-standar). Menurut Emil Badi' Ya'qub, bahasa amiyah atau yang sering dikenal dengan al-Lahjah adalah bahasa yang digunakan
dalam urusan-urusan biasa (tidak resmi), dan yang diterapkan dalam keseharian.
Bahasa ini tidak lain adalah bahasa yang digunakan dalam percakapan
sehari-hari. Namun, pada kenyataannya bahasa Arab amiyah pun telah merambah dan digunakan dalam bahasa-bahasa
sastra seperti penggubahan puisi dan penulisan prosa, terlebih setelah
terbentuknya negara-negara Arab merdeka.
Berdasarkan
tempatnya (dialek geografi),
bahasa Arab dibedakan ke dalam dialek Libanon, Iraq, Syiria, Algeria, Maroko,
Libya, Sudan, Saudi Arabia, Palestina, dan Mesir. Lebih dari itu, setiap dialek
tersebut ternyata memiliki sejumlah sub-subdialek yang beragam pula. Dialek
Mesir memiliki dua bentuk dialek yang berbeda, yaitu dialek Mesir bagian
Bawah/Hilir (Lower Egyptian) dan
dialek Mesir bagian Atas/Hulu (Upper
Egyptian).
Dari
beragam dialek bahasa Arab tersebut memang terdapat perbedaan satu sama lain
sehingga dimungkinkan mereka saling tidak memahami. Sebagai contoh antara
bahasa Arab dialek Mesir (bAdM) dengan bahasa Arab dialek Syria (bAdS). Dalam
bAdM, kalimat “Apa yang sedang kamu lakukan?” diungkapkan dengan: “biti’mel eh?”. Adapun di Syiria
diungkapkan dengan: “shu’am-t’saawi”.
Catatan bahwa hampir semua kata-kata penyusun dari kalimat tersebut jauh
berbeda, yaitu: kata kerja “mengerjakan” dalam bAdM “yi’mel” sedangkan dalam bAdS “yisaawi”, kata tanya “apa” dalam bAdM “eh” sedangkan dalam bAdM “shu”, konstruksi bentuk simple
continuous tense “sedang” dalam bAdM mendapatkan awalan “bi” sedangkan dalam bAdS mendapat awalan
“’am”, dan perbedaan yang
terakhir posisi kata tanya “apa” dalam bAdM diletakkan di belakang sedangkan
dalam bAdS diletakkan di depan. Begitu juga penggunaan kata “apa” dan “ini”.
Dalam bAdM penggunaan kedua kata tersebut cenderung diletakkan di belakang,
sedangkan dalam bAdS sebaliknya. Sehingga ketika ingin megungkapkan: “Apa yang
kamu inginkan?”, orang Mesir akan mengatakan: “’ayiz eh?”, sedangkan orang Syria akan mengatakan: “shu bidak?”. Begitu pula ketika
ingin mengungkapkan: “Ini buku”, orang Mesir mengatakan: ‘el-kitaab da”, sedangkan orang
Syria akan mengatakan: “hal-kitab”.
Walaupun memang ada yang mengatakan bahwa kedua bahasa dialek tersebut memiliki
kesamaan dalam sintaksisnya, akan tetapi dengan adanya perbedaan kosakata yang
digunakan menjadikan mereka tidak saling faham. Hal inilah yang menjadikan
salah satu sebab munculnya
kontroversi di kalangan masyarakat Arab sendiri tentang penggunaan bahasa ‘amiyyah itu sendiri. Di antara mereka
ada yang sepakat dan ada pula yang tidak sepakat digunakannya bahasa ini.
Mereka yang sepakat sebagian besar berpendapat bahwa bahasa Arab fusha adalah bahasa Arab yang paling
tinggi tingkatannya. Bahasa ini bahasa yang persatuan negeri Arab atau antar
kaum muslimin di dunia ini. Adapun mereka yang sepakat dengan digunakannya
bahasa Arab ‘amiyyah seperti
digunakannya bahasa tersebut sebagai bahasa resmi negara, karena bahasa Arab
akan mengalami stagnasi jika hanya bahasa fusha
yang berlaku.
Menurut
Wafy bahasa ‘amiyyah yang menjauh
dari bahasa Arab fusha baik itu
di Irak, Syam, Hijaz, Yaman, Mesir, dan Maroko, sebenarnya hanya perbedaan
kecil saja yaitu dalam sistem pembentukan kalimat, perubahan pembentukan,
kaidah-kaidah isytiqaq
(derivasi), jamak, ta’nits, sifat, nisbah, dan tashghir.
Hubungan
antara bahasa Arab ‘amiyyah
dengan bahasa Arab fusha
seharusnya dapat dijelaskan secara gamblang. Dalam beberapa bahasa terdapat
tingkatan kultur pemakaian dan macam fungsi. Agar penggunaan bahasa Arab lebih
efektif maka salah satu caranya adalah kita harus tahu tentang tingkatan dan
fungsi tersebut. Lebih dari itu, bahasa Arab selalu berubah pada setiap abad.
Oleh karena itu, secara garis besar kita mungkin dapat membedakannya sebagai
berikut:
1.
Bahasa
Arab Klasik atau Bahasa Arab Al-Qur’an lebih mengaju secara spesifik pada
grammar dan penggunaan Al-Qur’an hingga sampai pada masa kekhalifahan.
2.
Bahasa
Arab formal kontemporer lebih mengacu secara spesifik pada grammar bahasa Arab
dan penggunaannya pada abad ke-20. Termasuk dalam kategori ini, kita mungkin
saja menekankan penulisan bahasa Arab secara formal sekalipun terkadang
menimbulkan sebuah kesalahan besar dengan mengabaikan penulisan secara informal
atau spoken Arabic.
Bahasa Arab ‘amiyyah atau Spoken
Arabic mengacu pada bentuk bahasa Arab yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari. Perlu dicatat, bahwa bagaimanapun juga orang-orang Arab
yang tak berpendidikan jarang sekali menggunakan bahasa formal dan klasik dalam
percakapan mereka.
8. Perbedaan Sosiolinguistik
dan Sosiologi Bahasa
Sosiolinguistik dan sosiologi bahasa
adalah dua kajian yang hampir sama kerena keduanya membutuhkan bantuan
pengetahuan bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji bahasa yang
berkaitan dengan struktur sosial dan fungsi-fungsinya di dalam masyarakat.
Sebaliknya, sosiologi bahasa mengkaji masyarakat (struktur sosial melalui
bahasa yang dimilikinya. Menurut Hudson, sosiolinguistik adalah studi tentang
bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat, sedangkan sosiologi bahasa adalah
studi tentang masyarakat dalam hubungannya dengan bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar