1.
Apakah Semantik Itu?
Ada
dua cabang utama linguistik yang khusus menyangkut kata yaitu etimologi,
studi tentang asal usul kata, dan semantik atau ilmu makna, studi
tentang makna kata. Di antara kedua ilmu itu, etimologi sudah merupakan
disiplin ilmu yang lama mapan (established), sedangkan semantik relatif
merupakan hal yang baru.
Kata
semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau
lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis
bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai
istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang
tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata
semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu
salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik
(Chaer, 1994: 2).
Sebuah
kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bumyi yaitu [b-u-k-u]
dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku.
Menurut Ogden dan Richards (1923), dalam karya klasik tentang “teori semantik
segi tiga” , kaitan antara lambang, citra mental atau konsep, dan referen atau
objek dapat dijelaskan dengan gambar dan uraian sebagai berikut.
Makna
kata buku adalah konsep buku yang tersimpan dalam otak kita dan
dilambangkan dengan kata buku. Gambar di samping menunjukkan bahwa di antara
lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa
dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung
(digambarkan
dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara
konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.
Dalam
analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya maka, analisis suatu
bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat digunakan untuk
menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia
merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai
lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi kata iwak
dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga
berarti daging yang digunakan sebagai lauk.
2.
Hakikat Makna
Menurut
teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah
’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah
tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua
unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified)
dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier).
Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari
pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan
(signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem
bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri
dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa
(intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang
merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Yang
menandai (intralingual) yang ditandai (ekstralingual)
Dalam
bidang semantik istilah yang biasa digunakan untuk tanda-linguistik itu adalah
leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan
bermakna (Harimurti, 1982:98). Sedangkan istilah kata,yang lazim didefinisikan
sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri yang dapat terjadi dari morfem
tunggal atau gabungan morfem (Harimurti, 1982:76) adalah istilah dalam bidang
gramatika. Dalam makalah ini kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian
yang sama.
Yang
perlu dipahami adalah tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret
di dunia nyata. Misalnya leksem seperti agama, cinta, kebudayaan, dan keadilan
tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret. Di dalam penggunaannya dalam
pertuturan, yang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga
biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya.
Misal kata buaya dalam kalimat (1).
(1).
Dasar buaya, ibunya sendiri ditipunya.
Oleh
karena itu, kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah
berada dalam konteks kalimatnya. Makna sebuah kalimat baru dapat ditentukan
apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya.
Contoh, seorang setelah memeriksa buku rapor anaknya dan melihat angka-angka
dalam buku rapor itu banyak yang merah, berkata kepada anaknya dengan nada
memuji.
(2).
”Rapormu bagus sekali, Nak!”
Jelas,
dia tidak bermaksud memuji walaupun nadanya memuji. Dengan kalimat itu dia
sebenarnya bermaksud menegur tau mungkin mengejek anaknya itu.
3.
Jenis Makna
Menurut
Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut
pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal
dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata
atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial,
berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan
adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya
dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu
berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya
makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya.
3.1
Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal
adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari
leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau
leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem
dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat
diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat
kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang
sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera,
atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994).
Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang
dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam
kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal
akibat serangan hama tikus.
Makna
leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal
berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka
makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses
gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi
(Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu
seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam
kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan
makna gramatikal ’tidak sengaja’.
3.2
Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan
makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen
dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar
bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna
referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut
kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna
referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang
disebut ’meja’. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen, jadi
kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
3.3
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna
denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif
lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi
menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.
Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh
karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer,
1994). Umpama kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai
dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah
kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”,
baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan
tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna
konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah
dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang
konotasinya positif.
3.4
Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap
kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru
menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang
jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh
karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu
diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan
tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh
berikut
(1)
Tangannya luka kena pecahan kaca.
(2)
Lengannya luka kena pecahan kaca.
Kata
tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim
atau bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna
yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari
tangan; sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke
pangkal bahu.
3.5
Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech
(1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang
dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem
terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna
konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna
konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan
makna referensial.
Makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya,
kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
3.6
Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom
adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna
unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari
idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja
hijau dengan makna ’pengadilan’.
Berbeda
dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau
dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli
dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing
dengan kucing yang bermakna ’dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah
akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan
kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
3.7
Makna Kias
Dalam
kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi
dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau
kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti
konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi,
bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang
dalam arti ’matahari’.
4.
Relasi Makna
disebut
relasi makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan
beberapa wujud relasi makna.
Secara
semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa
kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna
ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang
bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim.
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun,
dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya
kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.
4.2
Antonimi dan Oposisi
Secara
semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya
berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya
dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang
berantonimi dengan kata buruk; kata besar berantonimi dengan kata
kecil.
Sama
halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam
batasan di atas, Verhaar menyatakan ”…yang maknanya dianggap kebalikan dari
makna ungkapan lain” Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan
dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi,
maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang
bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi
contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan
contoh yang hanya berkontras.
4.3
Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Homonimi
adalah ‘relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi
maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut
homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon.
Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu
(paham), sedang kata masa (waktu) berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang
menjadi satu kesatuan).
4.4
Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi
adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna
generis, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna
binatang’. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan
kucing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang. Bunga merupakan
superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan
binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.
4.5
Polisemi
Polisemi
lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang
memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia
memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang
terletak disebelah atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama
seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api;
(3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala
paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala
sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau
orang seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.;
dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya
kosong.
4.6
Ambiguitas
Ambiguitas
atau ketaksaab sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua
arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang
lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran
struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya frase buku sejarah baru
dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi
sejarah zaman baru.
4.7
Redundansi
Istilah
redundansi sering diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental
dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih,
maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih.
Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang
redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.
4.8
Meronimi
Meronimi
adalah ’relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi karena relasi
maknanya bersifat hierarkis, namun tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi
merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan’. Contohnya adalah atap
bermeronimi dengan rumah.
4.9
Makna Asosiatif
Makna
asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar
kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan
pengalaman seseorang. Oleh karena itu, makna asosiatif terutama dikaji bidang
psikolinguistik. Makna denotatif villa adalah ’rumah peristirahatan di luar
kota’. Selain makna denotatif itu, bagi kebanyakan orang Indonesia villa juga
mengandung makna asosiatif ’gunung’, ’alam’, ’pedesaan’, ’sungai’, bergantung
pada pengalaman seseorang.
4.10
Makna Afektif
Makna
afektif berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau membaca kata
tertentu. Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Kata jujur, rendah
hati, dan bijaksana menimbulkan makna afektif yang positif, sedangkan korupsi
dan kolusi menimbulkan makna afektif yang negatif.
4.11
Makna Etimologis
Makna
etimologis berbeda dengan makna leksikal karena berkaitan dengan asal-usul kata
dan perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis
suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi dengan kata tertentu. Melalui perubahan
makna kata, dapat ditelusuri perubahan nilai, norma, keadaan sosial-politik,
dan keadaan ekonomi suatu masyarakat.
Daftar Pustaka
Cahyono,
Bambang Yudi. 1994. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University
Press.
Chaer,
Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Kushartanti,
Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. 2005. Pesona Bahasa Langkah Awal
Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar