Rabu, 10 Februari 2016

Lima Maksiat Ini Langsung Dibalas Saat di Dunia

Kehidupan di dunia sebenarnya hanya sebuah ujian sebelum menempuh kehidupan kekal di akhirat nanti. Allah SWT menyediakan neraka sebagai balasan atas orang-orang yang dzolim semasa hidupnya, sementara golongan yang selalu berbuat kebajikan akan mendapatkan balasan surga.

Namun tahu kah anda bahwa selain dibalas pada hari kiamat nanti, beberapa maksiat berikut ini akan disegerakan balasannya oleh Allah saat masih di dunia. Tidak hanya kepada individu yang melakukannya, kemurkaan Allah ini juga bisa menimpa suatu kaum karena kemaksiatan mereka.


Lihat saja bagaimana Allah SWT mendatangkan bencana kepada suatu negeri. Tidak pernahkah terpikir bahwa bencana-bencana tersebut merupakan azab yang disegerakan karena kemaksiatan yang dilakukan? Nabi Muhammad SAW menjalaskan dalam banyak hadistnya tentang hal ini. Berikut  kenali lima maksiat ini balasannya langsung terjadi dunia.

1. Berzina
Perbuatan maksiat pertama yang akan disegarakan balasannya di akhir zaman kelak adalah berzina. Zina merupakan suatu perkara yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Sehingga perbuatan ini dikaterogikan ke dalam dosa besar.

Dalam hukum Islam, seseorang yang melakukan zina maka ia perlu dicambuk. Selain itu, orang tersebut juga harus diasingkan ke tempat yang jauh dari permukiman . Apabila yang melakukannya ketika sudah berumah tangga maka hukumannya adalah dilempar batu hingga mati.

Saat ini, banyak orang yang melakukan zina baik dengan cara bersembunyi-sembunyi bahkan ada juga yang melakukannya secara terang-terangan. Dalam kehidupan bermasyarakat hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan itu harus dipisahkan. Agar tidak terjadi kebejatan sosial di antara keduanya.

Zina akan menimbulkan banyak dampak buruk bagi pelakunya, selain mendapatkan dosa dari Allah, ia juga bisa saja tertular penyakit seperti HIV/AIDS. Inilah bentuk balasan Allah yang diberlakukan ketika suatu kaum bebas melakukan zina. Untuk itu, janganlah sekali-sekali mendekati zina apalagi berbuat zina agar Allah tidak melaknat kita di akhir zaman kelak.

2. Mengurangi Takaran Timbangan
Maksiat selanjutnya yang akan disegarakan balasannya di akhir zaman kelak adalah mengurangi timbangan. Berdagang memang menjadi pekerjaan yang dianjurkan di dalam Islam. Rasulullah SAW sendiri dahulunya adalah seorang pedagang yang jujur dan dapat dipercaya.

Namun saat ini, banyak orang yang bekerja sebagai pedagang melakukan kecurangan. Di antaranya adalah menipu pembeli demi mendapatkan keuntungan lebih. Cara menipu yang mereka lakukan ini adalah dengan mengurangi takaran timbangan. Padahal sebenarnya perbuatan yang demikian itu akan disegarakan balasannya oleh Allah SWT di akhir zaman kelak.

Mereka akan dihukum dengan paceklik yang panjang, kesempitan hidup dan kedzoliman penguasa. Orang-orang yang memiliki kebiasaan seperti ini biasanya lebih memprioritaskan kehidupan dunia dibanding dengan akhir zamannya. Mereka melakukan penipuan dengan mengharap kemewahan hidup. Namun ternyata perbuatan seperti ini tidak diperbolehkan di dalam Islam.

Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa menjadikan akhir zaman sebagai orientasi hidupnya, maka Allah akan jadikan kekayaan ada dalam hatinya, Allah himpun kekuatannya, dan dunia akan menghampirinya, sedang ia tidak menginginkannya, dan (sebaliknya) barangsiapa menjadikan dunia sebagai cita-citanya, Allah jadikan kefakiran ada di depan matanya, Allah cerai beraikan urusannya dan dunia tidak menghampirinya kecuali apa yang sudah Allah takdirkan untuknya.” (HR. At-Tirmidzi : 2465)

3. Menahan Zakat
Zakat adalah rukun Islam yang paling besar dalam hubungan sesama manusia. Selain untuk menolong sesama yang membutuhkan, zakat juga berfungsi untuk membersihkan harta. Terkadang Allah menguji manusia melalui harta, bagi yang beriman mereka akan mengeluarkan kewajiban untuk membayar zakat. Sebaliknya, bagi mereka yang kikir tidak akan keluar setetes hartapun dari kantong mereka untuk menunaikan zakat.

Sesungguhnya perbuatan yang demikian dilarang oleh Allah SWT. Bahkan kemaksiatan ini akan menjadi salah satu perbuatan yang disegarakan balasannya di akhir zaman kelak. Tidak hanya hanya itu, bangsa yang tidak mau mengeluarkan zakat, maka akan dihukum oleh Allah SWT dengan tertahannya hujan dari langit dan mereka akan mengalami kemarau yang panjang.

4. Menyalahi Janji Allah dan Rasul-Nya
Memilihara janji dengan Allah SWT dan Rasul-Nya, ditafsirkan sebagai menghormati peraturan dan garis ajaran yang telah ditetapkan di dalam Islam. Dengan kata lain, memilihara perjanjian ini adalah dengan menghargai kemuliaan anugerah agama Islam, Kitab suci Al-Qur’an dan sunnah yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.

Bagi orang yang beriman, melaksanakan janji ini adalah hal yang sangat mudah mengikuti semua aturannya. Namun sebaliknya, jika umat Islam sudah mulai merasa jemu dan tidak lagi berbangga dengan keislamannya dan mereka mencari cara dan budaya hidup baru dari bangsa lain yang demikian inilah ciri orang yang akan dilaknat oleh Allah. Atas perbuatan mereka menyalahi janji Allah ini, golongan tersebut akan segera mendapatkan balasan ketika sudah mendekati akhir zaman kelak yakni Allah akan menjadikan musuh dari kalangan orang luar yang menguasai mereka dan merampas sebagian hak mereka.

5. Dosa Kepada Orang Tua
Orang tua merupakan wali Allah di dunia. Bahkan Allah meletakkan kewajiban berbakti kepada kedua orang tua setelah kewajiban menyembah kepada-Nya. Karena keutamaan ini maka Allah begitu murka jika ada anak yang durhaka dan menyakiti orangtuanya. Balasannya akan segera kan di dunia.

Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Ada dua pintu (amalan) yang disegerakan balasannya di dunia; kedzoliman dan durhaka (pada orang tua). (HR. Hakim dan dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah : 1120)

Terlebih jika orang tua tersebut saat terdzolimi kemudian mengadu kepada Allah atas kesakitannya. Maka doa tersebut akan bergerak dan berhembus menuju angkasa, menembus awan, mencapai langit, dan diamini oleh para malaikat, kemudian Alloh Ta’ala mengabulkannya. Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Tiga doa yang tidak tertolak : doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa orang yang terdzolimi. (HR. al-Baihaqi dalam Sunan Kubro : 6185 dan dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah : 1797)

Demikianlah penjelasan mengenai lima maksiat yang akan disegerakan balasannya di Akhir zaman. Semoga setelah membaca artikel ini dapat menambah keimanan kepada Allah dan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar. Karena sesungguhnya hukuman Allah itu berasal dari perbuatan dosa yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Tetaplah menjadi hamba Allah yang beriman dan bertakwa.

Senin, 08 Februari 2016

Pengertian Semantik, Hakikat dan Jenis Makna

1. Apakah Semantik Itu?

Ada dua cabang utama linguistik yang khusus menyangkut kata yaitu etimologi, studi tentang asal usul kata, dan semantik atau ilmu makna, studi tentang makna kata. Di antara kedua ilmu itu, etimologi sudah merupakan disiplin ilmu yang lama mapan (established), sedangkan semantik relatif merupakan hal yang baru.
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bumyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Menurut Ogden dan Richards (1923), dalam karya klasik tentang “teori semantik segi tiga” , kaitan antara lambang, citra mental atau konsep, dan referen atau objek dapat dijelaskan dengan gambar dan uraian sebagai berikut.

Makna kata buku adalah konsep buku yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata buku. Gambar di samping menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung
(digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.
Dalam analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya maka, analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk.

2. Hakikat Makna

Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).

Yang menandai (intralingual) yang ditandai (ekstralingual)

Dalam bidang semantik istilah yang biasa digunakan untuk tanda-linguistik itu adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan bermakna (Harimurti, 1982:98). Sedangkan istilah kata,yang lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri yang dapat terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem (Harimurti, 1982:76) adalah istilah dalam bidang gramatika. Dalam makalah ini kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian yang sama.
Yang perlu dipahami adalah tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di dunia nyata. Misalnya leksem seperti agama, cinta, kebudayaan, dan keadilan tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret. Di dalam penggunaannya dalam pertuturan, yang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Misal kata buaya dalam kalimat (1).

(1). Dasar buaya, ibunya sendiri ditipunya.

Oleh karena itu, kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Makna sebuah kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Contoh, seorang setelah memeriksa buku rapor anaknya dan melihat angka-angka dalam buku rapor itu banyak yang merah, berkata kepada anaknya dengan nada memuji.

(2). ”Rapormu bagus sekali, Nak!”

Jelas, dia tidak bermaksud memuji walaupun nadanya memuji. Dengan kalimat itu dia sebenarnya bermaksud menegur tau mungkin mengejek anaknya itu.

3. Jenis Makna

Menurut Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya.

3.1 Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994). Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ’tidak sengaja’.

3.2 Makna Referensial dan Nonreferensial

Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ’meja’. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen, jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

3.3 Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer, 1994). Umpama kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang konotasinya positif.

3.4 Makna Kata dan Makna Istilah

Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh berikut

(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.
(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.

Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.

3.5 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.

3.6 Makna Idiomatikal dan Peribahasa

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan makna ’pengadilan’.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang bermakna ’dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.

3.7 Makna Kias

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang dalam arti ’matahari’.

4. Relasi Makna

disebut relasi makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan beberapa wujud relasi makna.
Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.

4.2 Antonimi dan Oposisi

Secara semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang berantonimi dengan kata buruk; kata besar berantonimi dengan kata kecil.
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan ”…yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain” Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.

4.3 Homonimi, Homofoni, dan Homografi

Homonimi adalah ‘relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu (paham), sedang kata masa (waktu) berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).

4.4 Hiponimi dan Hipernimi

Hiponimi adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generis, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang’. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan kucing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang. Bunga merupakan superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.

4.5 Polisemi

Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; (3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya kosong.

4.6 Ambiguitas

Ambiguitas atau ketaksaab sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baru.

4.7 Redundansi

Istilah redundansi sering diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.

4.8 Meronimi

Meronimi adalah ’relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi karena relasi maknanya bersifat hierarkis, namun tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan’. Contohnya adalah atap bermeronimi dengan rumah.

4.9 Makna Asosiatif

Makna asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan pengalaman seseorang. Oleh karena itu, makna asosiatif terutama dikaji bidang psikolinguistik. Makna denotatif villa adalah ’rumah peristirahatan di luar kota’. Selain makna denotatif itu, bagi kebanyakan orang Indonesia villa juga mengandung makna asosiatif ’gunung’, ’alam’, ’pedesaan’, ’sungai’, bergantung pada pengalaman seseorang.

4.10 Makna Afektif

Makna afektif berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau membaca kata tertentu. Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Kata jujur, rendah hati, dan bijaksana menimbulkan makna afektif yang positif, sedangkan korupsi dan kolusi menimbulkan makna afektif yang negatif.

4.11 Makna Etimologis

Makna etimologis berbeda dengan makna leksikal karena berkaitan dengan asal-usul kata dan perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi dengan kata tertentu. Melalui perubahan makna kata, dapat ditelusuri perubahan nilai, norma, keadaan sosial-politik, dan keadaan ekonomi suatu masyarakat.

Daftar Pustaka
Cahyono, Bambang Yudi. 1994. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. 2005. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pragmatika

Pragmatika adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan antara konteks dan makna. Ilmu ini mempelajari bagaimana penyampaian makna tidak hanya bergantung pada pengetahuan linguistik (tata bahasa, leksikon, dll) dari pembicara dan pendengar, tapi juga dari konteks penuturan, pengetahuan tentang status para pihak yang terlibat dalam pembicaraan, maksud tersirat dari pembicara.


Sumber Kajian Pragmatik

Sebagai disiplin ilmu, Pragmatika juga bersumber pada beberapa ilmu yang lainnya, antara lain:[1]
  • Filsahah Kebahasaan: mempelajari bahasa dari sudut pandang suatu ungkapan atau ujaran yang dituturkan
  • Sosiolinguistik:mempelajari bahasa dari sudut pandang tujuan dan situasi pemakaiannya di dalam masyarakat
  • Antropologi:mempelajari bahasa dari sudut pandang asal-usul suatu bahasa yang digunakan
  • Etnografi Bahasa:mempelajari bahasa dari sudut pandang sosiolingustik dimana serta kapan bahasa tersebut digunakan dalam berkomunikasi
  • Lingusitik:mempelajari bahasa dari sudut pandang struktur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi

Variasi Bahasa

 

Dalam mempelajari ilmu Pragmatika, berbagai bahasa mempunyai ragam bahasa/variasi bahasa yang selalu menyesuaikan dengan konteks dan keadaan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi variasi suatu bahasa, antara lain:[2]
  • Faktor geografis: mempelajari di daerah mana bahasa itu dipakai
  • Faktor kemasyrakatan: mempelajari siapa yang memakai bahasa dan bagaimana latar belakang masayrakat yang memakai bahasa
  • Faktor situasi berbahasa: mempelajari situasi pengguna bahasa, tempat penggunaan bahasa, dan tema yang diperbincangkan
  • Faktor waktu:mempejari kurun waktu suatu bahasa yang dipergunakan
Ragam Dialek adalah ragam bahasa yang berhubungan dengan di daerah mana suatu bahasa dituuturkan. Perbedaan dialek terdapat pada seluruh aspek bahasa dan lafal, morfologi, sintaksis, kosakata dan peribahasa, dan juga dalam pragmatik.[3]Sebagai contoh, Bahasa Jawa yang berbeda dengan bahasa Indonesia dalam penuturannya walaupun sama-sama digunakan orang Indonesia. Ragam Sosiolek adalah ragam bahasa yang berkaitan dengan status sosial dan jabatan seseorang dalam golongan masyarakat.[4]Status seseorang dalam golongan [masyarakat sangat mempengaruhi keberagaman dalam berkomunikasi. Sebagai contoh dalam bahasa Jawa terdapat Bahasa Bagongan, Bahasa Krama, dan Bahasa Ngoko yang akan dipergunakan sesorang dalam berkomikasi dengan melihat siapa lawan bicaranya. Ragam Fungsiolek adalah ragam bahasa yang berkaitan dengan situasi berbahasa, siapa pemakai bahasa, dan topik dari suatu bahasa.[5] Ragam Kronolek adalah ragam bahasa yang berhubungan dengan perubahan bahasa dalam suatu kurun waktu tertentu. Bahasa yang ada bersifat dinamis dan selalu berubah seiring berjalannya waktu, menurut fungsi dan kegunaannya.[6]


Macam Tindak Bahasa

Austin memisahkan 3 macam tindak bahasa yang terjadi yaitu :[7]
  • Tindak lokusi yang mengaitkan suatu topik dengan suatu keterangan dalam ungkapan.
  • Tindak ilokusi yaitu pengucapan suatu pernyataan, pertanyaan, penawaran, janji, dsb.
  • Tindak perlokusi yaitu hasil atau efek yang dihasilkan oleh suatu ungkapan yang sesuai situasi dan susana.

Alasan

Alasan pemunculan pragmatik dalam kurikulum 1984 bervariasi :
  • Praktik, kemampuan/keterampilan bahasa siswa masih kurang; bahasanya berbelit-belit dan banyak didominasi oleh bahasa daerah.
  • Karena penggunaan bahasa Indonesia siswa belum baik, maka siswa masih perlu banyak belajar menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar; (3) pencapaian hasil pelajaran bahasa Indonesia belum memuaskan.
  • Pragmatik melengkapi pelajaran bahasa Indonesia secara utuh.
  • Pragmatik menunjang pencapaian tujuan pelajaran bahasa Indonesia dan selalu ada dalam pergaulan hidup sehari-hari.
  • Pragmatik tidak terlalu kentara dalam pokok-pokok bahasan lain dalam pelajaran bahasa Indonesia.
  • Alasan perkembangan bahasa.[8]

 


 

Semantik

Semantik (dari Bahasa Yunani: semantikos[1][2], memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda) adalah cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata lain, Semantik adalah pembelajaran tentang makna. Semantik biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain: sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.
Semantik Linguistik adalah studi tentang makna yang digunakan untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa. Bentuk lain dari semantik mencakup semantik bahasa pemrograman, logika formal, dan semiotika.
Kata semantik itu sendiri menunjukkan berbagai ide - dari populer yang sangat teknis. Hal ini sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menandakan suatu masalah pemahaman yang datang ke pemilihan kata atau konotasi. Masalah pemahaman ini telah menjadi subyek dari banyak pertanyaan formal, selama jangka waktu yang panjang, terutama dalam bidang semantik formal. Dalam linguistik, itu adalah studi tentang interpretasi tanda-tanda atau simbol yang digunakan dalam agen atau masyarakat dalam keadaan tertentu dan konteks.[3] Dalam pandangan ini, suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan proxemics memiliki semantik konten (bermakna), dan masing-masing terdiri dari beberapa cabang studi. Dalam bahasa tertulis, hal-hal seperti struktur ayat dan tanda baca menanggung konten semantik, bentuk lain dari bahasa menanggung konten semantik lainnya [3].
Studi formal semantik bersinggungan dengan banyak bidang penyelidikan lain, termasuk leksikologi, sintaksis, pragmatik, etimologi dan lain-lain, meskipun semantik adalah bidang yang didefinisikan dengan baik dalam dirinya sendiri, sering dengan sifat sintetis.[4] Dalam filsafat bahasa, semantik dan referensi berhubungan erat. Bidang-bidang terkait termasuk filologi, komunikasi, dan semiotika. Studi formal semantik karena itu menjadi kompleks.
Semantik berbeda dengan sintaks, studi tentang kombinatorik unit bahasa (tanpa mengacu pada maknanya), dan pragmatik, studi tentang hubungan antara simbol-simbol bahasa, makna, dan pengguna bahasa.[5]
Dalam kosakata ilmiah internasional,semantik juga disebut semasiologi.

Linguistik

 Dalam linguistik, semantik adalah sub bidang yang dikhususkan untuk studi tentang makna, seperti yang melekat di tingkat kata, frasa, kalimat, dan unit yang lebih besar dari wacana (disebut teks). Daerah dasar studi ini adalah arti dari tanda-tanda, dan studi tentang hubungan antara unit linguistik yang berbeda dan senyawa: homonimi, sinonim, antonim, hypernymy, hyponymy, meronymy, metonimia, holonymy, paronyms. Perhatian utama adalah bagaimana makna menempel pada potongan yang lebih besar dari teks, mungkin sebagai akibat dari komposisi dari unit yang lebih kecil dari makna. Secara tradisional, semantik sudah termasuk studi tentang arti dan referensi denotatif, kondisi kebenaran, struktur argumen, peran tematik, analisis wacana, dan hubungan semua ini untuk sintaks.


Apa yang Dipelajari oleh Ilmu Bahasa (linguistik)? (Bahan Kuliah Sosiolinguistik)

Bahasa dipelajari atau dikaji oleh disiplin ilmu yang disebut linguistik atau ilmu bahasa. Seperti halnya disiplin-displin yang lain, linguistik juga memiliki tiga pilar penyangga, yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi merupakan asas penetapan objek dan wilayah kajian dan karenanya menjawab pertanyaan apa yang dikaji,  termasuk apa bentuk realitasnya (konkret,  abstrak, atau simbolik). Epistemologi merupakan asas penetapan bagaimana cara mempelajari atau memperolehnya, dan karenanya menjawab pertanyaan bagaimana mengkajinya, karena itu bersifat metodologis. Metodologi penelitian merupakan epistemologinya pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan asas penetapan tujuan dan manfaat pengetahuan, dan karenanya menjawab pertanyaan apa tujuan dan manfaat pengetahuan yang akan dikaji. Berikut uraian ketiga pilar penyangga tersebut.

1. Apa Wilayah Penelitian Bahasa?
Setiap ilmu niscaya memiliki ciri dan kekhususan masing-masing, kendati antara yang satu dengan yang lainnya dapat saling bersentuhan. Dengan demikian,  setiap kajian tentang metode keilmuan tertentu, termasuk ilmu bahasa, perlu terlebih dahulu menjawab pertanyaan: (1) apa bahan kajian ilmu bahasa, (2) bagaimana cara mengkaji ilmu bahasa, dan (3) apa manfaat  dan tujuan ilmu bahasa.
Secara ontologik, ilmu bahasa mengkaji berbagai gejala bahasa, dan tali-temali bahasa dengan gejala lain. Wardhaugh (1986: 1) menyebutkan “…a language is what the members of a particular society speak”. Sebelumnya Saussure (1973: 16) mendefinisikan bahasa sebagai  “.. a system of signs that express ideas”. Jadi, pada hakikatnya bahasa adalah lisan. Dengan demikian, bahan kajian primer ilmu bahasa adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa tulisan merupakan bahan kajian sekunder (Verhaar, 1976: 3).
2. Mengapa Bahasa Lisan Utama?
Tokoh hermeneutika kontemporer seperti Gadamer memandang bahwa menurut kodratnya bahasa adalah “lisan”, kemudian disusul bahasa tulis demi efektivitas dan kelestarian bahasa tutur. Perubahan bahasa dari tutur ke tulis mengandung banyak kelemahan, misalnya kehilangan konteks dan daya ekspresi penuturnya (Rahardjo, 2005: 84).
Pemikiran di atas tidak lepas dari gagasan dasar yang dikemukakan  Ferdinand de Saussure  lewat karyanya Cours de Linguistique Generale. Pemikiran Saussure yang kemudian disebut sebagai linguistik modern  menekankan pada  aspek struktur bahasa, sehingga  paham ini disebut sebagai linguistik struktural. Saussure mengembangkan konsep tentang hakikat bahasa yang dibedakan atas tiga pengertian, yaitu langue, langage, dan parole.
Menurut Saussure, gejala paling konkret bahasa adalah ujaran (parole). Gejala lebih abstrak, karena menyangkut kaidah-kaidah bahasa tertentu secara tepat, berupa langue. Bahasa Inggris dengan segala kaidahnya, misalnya, merupakan langue. Sedangkan yang paling abstrak adalah langage, yang mencakup tidak hanya kaidah satu bahasa, tetapi kaidah umum berbagai bahasa.
3. Apa Saja Gejala Bahasa itu?
Secara sederhana, ada lima wujud gejala bahasa. Karena kelahiran bahasa bermula dari ujaran (speech), maka gejala terkecil bahasa adalah bunyi (sound, phone) yang direpresentasikan dalam bentuk huruf. Gejala ini dipelajari oleh cabang kajian fonetik atau fonologi (phonetics or phonology). Gejala bahasa terkecil kedua berupa morfem (morpheme) dan kata (words). Serba-serbi kata dipelajari oleh morfologi (morphology), perbendaharaan kata ini dipelajari oleh leksikologi (lexicology), sedangkan kata sebagai tanda dikaji oleh semiotika (semiotics) atau semiologi.
Gejala bahasa berupa kelompok kata, baik berupa frasa (phrase) maupun kalimat (sentence) yang tersusun secara tertentu (structure) dipelajari oleh cabang kajian sintaksis (syntax). Karena bahasa niscaya digunakan untuk bertukar pesan, maka unsur sangat penting bahasa berikutnya adalah makna (meaning). Gejala bahasa ini dipelajari oleh cabang kajian semantika (semantics). Selanjutnya, gejala bahasa berupa percakapan dan atau wacana (conversation and or discourse) dipelajari baik oleh cabang kajian pragmatika (pragmatics), hermeneutika (hermeneutics), analisis isi (content analysis),  maupun analisis wacana (discourse analysis). Seluruh cabang ilmu bahasa yang mempelajari sistematika bahasa tanpa mengaitkan dengan perkembangan atau sejarahnya disebut sebagai kajian linguistik sinkronik (synchronic-linguistics).
4. Bagaimana Hubungan Gejala Bahasa dengan Gejala Khas Manusia yang Lain?
Sebagai gejala khas manusia, bahasa juga tidak dapat dipisahkan dengan gejala khas manusia yang lain. Gejala ini melahirkan bidang kajian lintas disiplin (inter-disciplinary study). Tali-temali bahasa dengan masyarakat, misalnya, dipelajari oleh cabang kajian sosiolinguistik dan sosiologi bahasa (sociolinguistics and sociology of language). Hubungan bahasa dengan jiwa manusia, termasuk proses pemerolehan bahasa pertama (first-language acquisition), speech comprehension and production dipelajari oleh cabang kajian yang disebut psikolinguistik (psycholinguistics). Hubungan bahasa dengan ilmu pendidikan, misalnya, pembelajaran bahasa kedua (second-language learning), dipelajari oleh cabang kajian linguistik terapan (applied-linguistics). Kenyataan yang terkait dengan masa kuno dari sesuatu bahasa dengan sejarah atau perkembangan bahasa, dipelajari oleh linguistik diakronik (diachronic-linguistics). Bahasa juga bersentuhan dengan antropologi yang kemudian dipelajari oleh cabang kajian antropolinguistik (anthropolinguistics). Relasi bahasa dengan ilmu neurologi dikaji oleh cabang kajian yang disebut neurolinguistik (neurolinguistics), sedangkan kajian yang mempelajarai bahasa dengan kehidupan manusia pada umumnya (etnometodologi) disebut etnolinguistik (ethnolinguistics).
Gejala baru dalam bidang kebahasaan dengan memanfaatkan piranti teknologi modern melahirkan cabang disiplin baru dalam ilmu disebut language computing. Language computing bukan komputerisasi bahasa, melainkan cabang linguistik dengan memanfaatkan komputer untuk memahami bahasa selain berfungsi sebagai alat bantu komunikasi, khususnya lewat internet. Di antara sekian banyak cabang interdisciplinary studies tersebut, tampaknya baru cabang sosiolinguistik dan psikolinguistik yang sudah berkembang pesat.

Sosiolinguistik

Oleh: Ening Herniti 



1. Pengertian Sosiolinguistik
            Berbicara mengenai sosiolinguistik (الاجتماعي اللغوي) berkaitan erat dengan bahasa (language) dan masyarakat (society) serta fungsi-fungsi bahasa dalam masyarakat. Bahasa didefinisikan sebagai alat komunikasi verbal yang dipergunakan oleh masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok atau beberapa kelompok orang yang sama-sama memiliki tujuan tertentu[1].
Secara etimologis, sosiolinguistik  berasal dari kata sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan proses-proses sosial[2]. Sementara itu, linguistik adalah disiplin yang mempelajari struktur bahasa tanpa mengkaji konteks sosial tempat struktur itu dipelajari atau digunakan[3]. Jadi, sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan.
            Menurut Fishman, sosiolinguistik  adalah ilmu yang membahas hubungan antara pemakaian bahasa dan perilaku sosial[4]. Fishman memformulasikan sosiolinguistik adalah “siapa berkata apa”. Sementara itu, formulasi Labov adalah “mengapa seseorang mengatakan sesuatu[5]. Wardhaugh mendefinisikan sosiolinguitik adalah ilmu yang mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor sosial yang hidup di dalam masyarakat penuturnya. Soetomo memberi definisi sosiolinguistik sebagai ilmu yang membicarakan bentuk-bentuk serta perubahan bahasa dikaitkan dengan fungsi sosialnya di dalam masyarakat pemakainya[6]. Lebih lanjut ia membedakan dengan istilah sosiologi bahasa. Berdasarkan objek kajiannya kedua ilmu tersebut berbeda. Objek kajian sosiolinguistik adalah bahasa, sementara itu, objek kajian sosiologi bahasa adalah manusia sebagai anggota masyarakat yang berinteraksi satu degan yang lain lewat bahasa.
2. Latar Belakang Sosiolinguistik
            Sosiolinguitik lahir karena ketidakpuasan ahli bahasa terhadap linguistik struktural yang hanya mengkaji bahasa dari segi strukturalnya dengan mengabaikan faktor sosial dalam analisisnya.  Konsep sosiolinguistik sebenarnya sudah tampak pada laporan penelitian yang dilakukan Labov dengan judul The Social Stratification of English in New York City[7]. J.R. Firth, pendiri linguistik aliran London, berpendapat bahwa tuturan itu mempunyai fungsi sosial sebagai alat komunikasi dan mengidentifikasikan kelompok-kelompok sosial. Oleh karena itu, studi tentang tuturan tanpa mempertimbangkan mayarakat penuturnya akan kehilangan kemungkinan-kemungkinan untuk menjelaskan struktur bahasa yang dipakai[8].
Menurut Hymes, istilah sosiolinguistik mulai dikenal pada tahun 1960-an. Dekade ini ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Language in Culture and Society oleh Dell Hymes pada tahun 1966. Pada tahun 1968 Fishman menulis dalam kumpulan karangan yang diberi judul Reading in The Sociology of Language. Pada tahun yang sama  Ferguson, Fishman, dan Das Gupta menerbitkan kumpulan makalah yang diberi judul Language Problems of Developing Nations.
3. Metodologi
            Metode yang digunakan adalah metode linguistik dan sosiologi. Metode-metode linguistik dipakai untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa serta unsur-unsurnya dengan notasi tanda-tanda fonetik/fonemik. Metode sosiologi biasa dipakai dalam mengumpulkan data seperti, observasi, kuesioner, dan  wawancara. Analisisnya dapat menggunakan metode statistik, yakni untuk mendapatkan pola-pola umun dalam tindak laku berbahasa.
            Objek kajian sosiolinguistik dapat diteliti berdasarkan pada tiga langkah, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Ada prinsip yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial (sosial budaya masyarakat). Seorang peneliti dalam bidang sosiolinguistik harus dapat membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa sebagaimana seharusnya (preskriptif atau sering pula disebut normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti sebagaimana adanya. Oleh karena itu, bahan atau data linguistik yang diperoleh harus bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh dibuat-buat (contrived).
Ada dua metode penyediaan data yaitu metode observasi dan metode wawancara Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan metode wawancara disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993). Metode observasi adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya. Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti pemakaian peribahasa, maka ia harus mengumpulkan peribahasa itu bersama dengan teks-teks lain yang menyertainya, para pemakai peribahasa itu, dan juga unsur-unsur nonverbal lain yang melatarinya, termasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya. Pemakaian metode observasi dengan bahan teks sebagai acuan disebut penelitian kepustakaan (library research), sedangkan metode observasi dengan bahan teks dengan konteks  yang lebih luas disebut penelitian lapangan (field research). Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta, sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi nonpartisipasi atau metode observasi tidak berperan serta.  Nama-nama metode ini lazim dipakai dalam literatur metodologi penelitian sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial lainnya ( Nasution, 2004: 106-113). Perlu diberi catatan bahwa Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode observasi nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap. Metode wawancara adalah metode penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan secara langsung.
Metode analisis dalam kajian sosiolinguistik ini dapat dibagi ke dalam dua jenis, pertama, metode korelasi atau metode pemadanan, yakni metode yang berkaitan dengan pengkorelasian objek bahasa secara eksternal dengan unsur nonbahasa, dan kedua, metode operasi atau metode distribusi, yakni metode yang berkaitan dengan pembedahan, pengolahan, atau pengotak-atikan teks verbal secara internal. Metode korelasi adalah metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Metode operasi atau metode distribusi adalah metode analisis yang menguraikan unsur-unsur substansial objek kajian dan mendistribusikannya dengan unsur-unsur verbal lainnya untuk mendapatkan pola, aturan atau kaidah yang berhubungan dengan konteks situasi dan sosial budayanya.
4. Objek Kajian
            Objek sosiolinguistik adalah aspek bahasa yang bersifat hiterogen (la parole), yakni bahasa dalam wujudnya setelah terimplementasi dalam tindak komunikasi. Butir-butir penelitian sosiolinguistik meliputi:
1)                  Fonem
2)                  Morfem
3)                  Kata (leksikon)
4)                  Frasa
5)                  Klausa
6)                  Kalimat
7)                  Paragraf
8)                  Wacana
9)                  Dialog
10)              Ideolek
11)              Dialek regional
12)              Kronolek (dialek waktu)
13)              Sosiolek (dialek sosial): a. dialek umur
                                                  b. dialek jenis kelamin
                                                  c. dialek etnik
                                                  d. dialek ideologi
                                                  e. dialek kelas sosial
                                                  f. dialek keterdidikan
14) unda usuk atau tingkat tutur (speech level)
15) ragam: a. formal (akrolek)
                        b. informal (basilek)
                        c. literer (sastra)
16) register
17) bahasa, yakni makna pemakain atau pemilihan bahasa sebagai salah satu kode dalam masayarakat tutur yang multilingual.
5. Tujuan
            Sosiolinguistik membahas hubungan antara pemakaian bahasa dan perilaku sosial. Dengan membahas pemakaian bahasa, seseorang  akan dapat mengetahui berbagai kondisi, nilai-nilai , kepercayaan, sistem etika, aturan, dan lainnya yang membentuk dan memberikan ciri khusus kepada kelompok-kelompok masyarakat pemakai bahasa itu.  Sosiolinguistik mencatat dan menelaah bahasa yang dipergunakan seseorang ketika berbicara dengan teman bicaranya. Selain itu, sosiolinguistik juga menelaah bahasa yang dipergunakan seseorang dengan segala cara penyampaiannya, seperti tanda-tanda berupa kata-kata maupun isyarat yang menyatakan bahwa ia sedang mendengarkan baik-baik, setuju atau tidak setuju[9].
            Keadaan sosiolinguistik Indonesia cukup kompleks karena berdasarkan peta bahasa yang diterbitkan Lembaga Bahasa Nasional (kini Pusat Bahasa) tahun 1972 bahwa ada kurang lebih 480 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah penutur tiap bahasa berkisar 100 orang (di Irian Jaya) sampai kurang lebih 50 juta orang (bahasa Jawa)[10].
            Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah perkotaan. Hampir 87% penduduk Indonesia dapat mengerti bahasa Indonesia. Sementara itu, lebih dari 65% penduduk Indonesia dapat menggunakan bahasa Indonesia. Pada umumnya, bahasa ibu orang Indonesia adalah bukan bahasa Indonesia (sering disebut bahasa daerah) dan baru mengenal bahasa Indonesia ketika masuk usia sekolah karena bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia. Namun, saat ini anak-anak Indonesia sudah mulai mengenal bahasa Indonesia sejak masih kecil karena adanya siaran televisi atau radio dalam bahasa Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia yang hanya bisa menggunakan bahasa Indonesia meningkat karena adanya perkawinan antarsuku. Selain itu, karena faktor ekonomi, di kota-kota besar di Indonesia bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya jumlah bahasa lain yang bukan bahasa Indonesia cukup banyak. Jumlahnya adalah 706 bahasa. Dari jumlah tersebut, bahasa yang besar dari sudut jumlah pemakai adalah bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Minangkabau, dan Batak.
Jika menggabungkan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu lainnya, jumlah penutur bahasa Melayu saat ini adalah sekitar 260 juta orang. Jumlah itu diperoleh dari 234 juta penduduk Indonesia, 20 juta penduduk Malaysia, dan beberapa ribu orang Melayu di Brunei, Singapura, Thailand, Filipina, dan Afrika Selatan.
            Sebagian besar orang Indonesia belajar bahasa daerah sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu. Sementara itu, mereka belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolah atau secara informal dalam masyarakat.
7. Keadaan Sosiolinguistik di Arab
Bahasa Arab adalah bahasa yang masuk dalam subrumpun Semit dari rumpun Hamito-Semit atau Afro-Asiatik. Bahasa ini termasuk dalam bahasa klasik yang paling luas penggunaannya di dunia ini daripada bahasa-bahasa klasik lainnya, seperti bahasa Latin, bahasa Sanskerta,  bahasa Ibrani, dan bahasa lainnya. Hal ini terjadi karena bahasa ini merupakan bahasa Quran yang dibaca oleh kaum muslimin di penjuru dunia dan digunakan dalam penulisan maupun pembahasan masalah-masalah yang terkait dengan keagamaan.
 Setiap bahasa digunakan oleh orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa Arab adalah semua orang yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa Arab. Sebagai salah satu bahasa besar dunia, masyarakat bahasa Arab menyebar luas di dua benua, Asia dan Afrika. Selain itu, bahasa Arab juga digunakan sebagai bahasa resmi di sekitar 22 negara yang total populasi pemakainya mencapai kurang lebih 120 juta orang. Anggota masyarakat suatu bahasa—termasuk juga bahasa Arab—biasanya beragam. Apakah itu dari segi status sosial, atau pun latar belakang budaya yang tidak sama.
Bahasa Arab dilihat dari ragamnya dapat dibedakan ke dalam dua macam bentuk, yaitu:
Pertama, bahasa Arab fusha (ragam standar). Menurut Emil Badi' Ya'qub, bahasa Arab fusha adalah bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an, situasi-situasi resmi, penggubahan puisi, penulisan prosa dan juga ungkapan-ungkapan pemikiran (tulisan-tulisan ilmiah). Secara umum bahasa ini dapat diklasifikasikan dalam dua tingkatan, yaitu Bahasa Arab Klasik (Classical Arabic) yang digunakan dalam bahasa al-Qur'an dan Bahasa Arab Standar Modern (Modern Standard Arabic) yang digunakan dalam bahasa ilmiah.
Kedua, bahasa Arab amiyah (ragam non-standar). Menurut Emil Badi' Ya'qub, bahasa amiyah atau yang sering dikenal dengan al-Lahjah adalah bahasa yang digunakan dalam urusan-urusan biasa (tidak resmi), dan yang diterapkan dalam keseharian. Bahasa ini tidak lain adalah bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, pada kenyataannya bahasa Arab amiyah pun telah merambah dan digunakan dalam bahasa-bahasa sastra seperti penggubahan puisi dan penulisan prosa, terlebih setelah terbentuknya negara-negara Arab merdeka.
Berdasarkan tempatnya (dialek geografi), bahasa Arab dibedakan ke dalam dialek Libanon, Iraq, Syiria, Algeria, Maroko, Libya, Sudan, Saudi Arabia, Palestina, dan Mesir. Lebih dari itu, setiap dialek tersebut ternyata memiliki sejumlah sub-subdialek yang beragam pula. Dialek Mesir memiliki dua bentuk dialek yang berbeda, yaitu dialek Mesir bagian Bawah/Hilir (Lower Egyptian) dan dialek Mesir bagian Atas/Hulu (Upper Egyptian).
Dari beragam dialek bahasa Arab tersebut memang terdapat perbedaan satu sama lain sehingga dimungkinkan mereka saling tidak memahami. Sebagai contoh antara bahasa Arab dialek Mesir (bAdM) dengan bahasa Arab dialek Syria (bAdS). Dalam bAdM, kalimat “Apa yang sedang kamu lakukan?” diungkapkan dengan: “biti’mel eh?”. Adapun di Syiria diungkapkan dengan: “shu’am-t’saawi”. Catatan bahwa hampir semua kata-kata penyusun dari kalimat tersebut jauh berbeda, yaitu: kata kerja “mengerjakan” dalam bAdM “yi’mel” sedangkan dalam bAdS “yisaawi”, kata tanya “apa” dalam bAdM “eh” sedangkan dalam bAdM “shu”, konstruksi bentuk simple continuous tense “sedang” dalam bAdM mendapatkan awalan “bi” sedangkan dalam bAdS mendapat awalan “’am”, dan perbedaan yang terakhir posisi kata tanya “apa” dalam bAdM diletakkan di belakang sedangkan dalam bAdS diletakkan di depan. Begitu juga penggunaan kata “apa” dan “ini”. Dalam bAdM penggunaan kedua kata tersebut cenderung diletakkan di belakang, sedangkan dalam bAdS sebaliknya. Sehingga ketika ingin megungkapkan: “Apa yang kamu inginkan?”, orang Mesir akan mengatakan: “’ayiz eh?”, sedangkan orang Syria akan mengatakan: shu bidak?”. Begitu pula ketika ingin mengungkapkan: “Ini buku”, orang Mesir mengatakan: ‘el-kitaab da, sedangkan orang Syria akan mengatakan: hal-kitab”. Walaupun memang ada yang mengatakan bahwa kedua bahasa dialek tersebut memiliki kesamaan dalam sintaksisnya, akan tetapi dengan adanya perbedaan kosakata yang digunakan menjadikan mereka tidak saling faham. Hal inilah yang menjadikan salah satu sebab munculnya kontroversi di kalangan masyarakat Arab sendiri tentang penggunaan bahasa ‘amiyyah itu sendiri. Di antara mereka ada yang sepakat dan ada pula yang tidak sepakat digunakannya bahasa ini. Mereka yang sepakat sebagian besar berpendapat bahwa bahasa Arab fusha adalah bahasa Arab yang paling tinggi tingkatannya. Bahasa ini bahasa yang persatuan negeri Arab atau antar kaum muslimin di dunia ini. Adapun mereka yang sepakat dengan digunakannya bahasa Arab ‘amiyyah seperti digunakannya bahasa tersebut sebagai bahasa resmi negara, karena bahasa Arab akan mengalami stagnasi jika hanya bahasa fusha yang berlaku.
Menurut Wafy bahasa ‘amiyyah yang menjauh dari bahasa Arab fusha baik itu di Irak, Syam, Hijaz, Yaman, Mesir, dan Maroko, sebenarnya hanya perbedaan kecil saja yaitu dalam sistem pembentukan kalimat, perubahan pembentukan, kaidah-kaidah isytiqaq (derivasi), jamak, ta’nits, sifat, nisbah, dan tashghir.
Hubungan antara bahasa Arab ‘amiyyah dengan bahasa Arab fusha seharusnya dapat dijelaskan secara gamblang. Dalam beberapa bahasa terdapat tingkatan kultur pemakaian dan macam fungsi. Agar penggunaan bahasa Arab lebih efektif maka salah satu caranya adalah kita harus tahu tentang tingkatan dan fungsi tersebut. Lebih dari itu, bahasa Arab selalu berubah pada setiap abad. Oleh karena itu, secara garis besar kita mungkin dapat membedakannya sebagai berikut:
1.                      Bahasa Arab Klasik atau Bahasa Arab Al-Qur’an lebih mengaju secara spesifik pada grammar dan penggunaan Al-Qur’an hingga sampai pada masa kekhalifahan.
2.                      Bahasa Arab formal kontemporer lebih mengacu secara spesifik pada grammar bahasa Arab dan penggunaannya pada abad ke-20. Termasuk dalam kategori ini, kita mungkin saja menekankan penulisan bahasa Arab secara formal sekalipun terkadang menimbulkan sebuah kesalahan besar dengan mengabaikan penulisan secara informal atau spoken Arabic.
Bahasa Arab ‘amiyyah atau Spoken Arabic mengacu pada bentuk bahasa Arab yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Perlu dicatat, bahwa bagaimanapun juga orang-orang Arab yang tak berpendidikan jarang sekali menggunakan bahasa formal dan klasik dalam percakapan mereka.
8. Perbedaan Sosiolinguistik dan Sosiologi Bahasa
            Sosiolinguistik dan sosiologi bahasa adalah dua kajian yang hampir sama kerena keduanya membutuhkan bantuan pengetahuan bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji bahasa yang berkaitan dengan struktur sosial dan fungsi-fungsinya di dalam masyarakat. Sebaliknya, sosiologi bahasa mengkaji masyarakat (struktur sosial melalui bahasa yang dimilikinya. Menurut Hudson, sosiolinguistik adalah studi tentang bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat, sedangkan sosiologi bahasa adalah studi tentang masyarakat dalam hubungannya dengan bahasa.