Kehidupan di dunia sebenarnya hanya sebuah ujian sebelum menempuh
kehidupan kekal di akhirat nanti. Allah SWT menyediakan neraka sebagai
balasan atas orang-orang yang dzolim semasa hidupnya, sementara golongan
yang selalu berbuat kebajikan akan mendapatkan balasan surga.
Namun tahu kah anda bahwa selain dibalas pada hari kiamat nanti,
beberapa maksiat berikut ini akan disegerakan balasannya oleh Allah saat
masih di dunia. Tidak hanya kepada individu yang melakukannya,
kemurkaan Allah ini juga bisa menimpa suatu kaum karena kemaksiatan
mereka.
Lihat saja bagaimana Allah SWT mendatangkan bencana kepada suatu negeri.
Tidak pernahkah terpikir bahwa bencana-bencana tersebut merupakan azab
yang disegerakan karena kemaksiatan yang dilakukan? Nabi Muhammad SAW
menjalaskan dalam banyak hadistnya tentang hal ini. Berikut kenali lima
maksiat ini balasannya langsung terjadi dunia.
1. Berzina
Perbuatan maksiat pertama yang akan disegarakan balasannya di akhir
zaman kelak adalah berzina. Zina merupakan suatu perkara yang sangat
dibenci oleh Allah SWT. Sehingga perbuatan ini dikaterogikan ke dalam
dosa besar.
Dalam hukum Islam, seseorang yang melakukan zina maka ia perlu dicambuk.
Selain itu, orang tersebut juga harus diasingkan ke tempat yang jauh
dari permukiman . Apabila yang melakukannya ketika sudah berumah tangga
maka hukumannya adalah dilempar batu hingga mati.
Saat ini, banyak orang yang melakukan zina baik dengan cara
bersembunyi-sembunyi bahkan ada juga yang melakukannya secara
terang-terangan. Dalam kehidupan bermasyarakat hubungan antara kaum
laki-laki dan perempuan itu harus dipisahkan. Agar tidak terjadi
kebejatan sosial di antara keduanya.
Zina akan menimbulkan banyak dampak buruk bagi pelakunya, selain
mendapatkan dosa dari Allah, ia juga bisa saja tertular penyakit seperti
HIV/AIDS. Inilah bentuk balasan Allah yang diberlakukan ketika suatu
kaum bebas melakukan zina. Untuk itu, janganlah sekali-sekali mendekati
zina apalagi berbuat zina agar Allah tidak melaknat kita di akhir zaman
kelak.
2. Mengurangi Takaran Timbangan
Maksiat selanjutnya yang akan disegarakan balasannya di akhir zaman
kelak adalah mengurangi timbangan. Berdagang memang menjadi pekerjaan
yang dianjurkan di dalam Islam. Rasulullah SAW sendiri dahulunya adalah
seorang pedagang yang jujur dan dapat dipercaya.
Namun saat ini, banyak orang yang bekerja sebagai pedagang melakukan
kecurangan. Di antaranya adalah menipu pembeli demi mendapatkan
keuntungan lebih. Cara menipu yang mereka lakukan ini adalah dengan
mengurangi takaran timbangan. Padahal sebenarnya perbuatan yang demikian
itu akan disegarakan balasannya oleh Allah SWT di akhir zaman kelak.
Mereka akan dihukum dengan paceklik yang panjang, kesempitan hidup dan
kedzoliman penguasa. Orang-orang yang memiliki kebiasaan seperti ini
biasanya lebih memprioritaskan kehidupan dunia dibanding dengan akhir
zamannya. Mereka melakukan penipuan dengan mengharap kemewahan hidup.
Namun ternyata perbuatan seperti ini tidak diperbolehkan di dalam Islam.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa menjadikan akhir zaman sebagai orientasi hidupnya, maka
Allah akan jadikan kekayaan ada dalam hatinya, Allah himpun kekuatannya,
dan dunia akan menghampirinya, sedang ia tidak menginginkannya, dan
(sebaliknya) barangsiapa menjadikan dunia sebagai cita-citanya, Allah
jadikan kefakiran ada di depan matanya, Allah cerai beraikan urusannya
dan dunia tidak menghampirinya kecuali apa yang sudah Allah takdirkan
untuknya.” (HR. At-Tirmidzi : 2465)
3. Menahan Zakat
Zakat adalah rukun Islam yang paling besar dalam hubungan sesama
manusia. Selain untuk menolong sesama yang membutuhkan, zakat juga
berfungsi untuk membersihkan harta. Terkadang Allah menguji manusia
melalui harta, bagi yang beriman mereka akan mengeluarkan kewajiban
untuk membayar zakat. Sebaliknya, bagi mereka yang kikir tidak akan
keluar setetes hartapun dari kantong mereka untuk menunaikan zakat.
Sesungguhnya perbuatan yang demikian dilarang oleh Allah SWT. Bahkan
kemaksiatan ini akan menjadi salah satu perbuatan yang disegarakan
balasannya di akhir zaman kelak. Tidak hanya hanya itu, bangsa yang
tidak mau mengeluarkan zakat, maka akan dihukum oleh Allah SWT dengan
tertahannya hujan dari langit dan mereka akan mengalami kemarau yang
panjang.
4. Menyalahi Janji Allah dan Rasul-Nya
Memilihara janji dengan Allah SWT dan Rasul-Nya, ditafsirkan sebagai
menghormati peraturan dan garis ajaran yang telah ditetapkan di dalam
Islam. Dengan kata lain, memilihara perjanjian ini adalah dengan
menghargai kemuliaan anugerah agama Islam, Kitab suci Al-Qur’an dan
sunnah yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.
Bagi orang yang beriman, melaksanakan janji ini adalah hal yang sangat
mudah mengikuti semua aturannya. Namun sebaliknya, jika umat Islam sudah
mulai merasa jemu dan tidak lagi berbangga dengan keislamannya dan
mereka mencari cara dan budaya hidup baru dari bangsa lain yang demikian
inilah ciri orang yang akan dilaknat oleh Allah. Atas perbuatan mereka
menyalahi janji Allah ini, golongan tersebut akan segera mendapatkan
balasan ketika sudah mendekati akhir zaman kelak yakni Allah akan
menjadikan musuh dari kalangan orang luar yang menguasai mereka dan
merampas sebagian hak mereka.
5. Dosa Kepada Orang Tua
Orang tua merupakan wali Allah di dunia. Bahkan Allah meletakkan
kewajiban berbakti kepada kedua orang tua setelah kewajiban menyembah
kepada-Nya. Karena keutamaan ini maka Allah begitu murka jika ada anak
yang durhaka dan menyakiti orangtuanya. Balasannya akan segera kan di
dunia.
Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Ada dua pintu (amalan) yang disegerakan balasannya di dunia; kedzoliman
dan durhaka (pada orang tua). (HR. Hakim dan dishohihkan al-Albani dalam
ash-Shohihah : 1120)
Terlebih jika orang tua tersebut saat terdzolimi kemudian mengadu kepada
Allah atas kesakitannya. Maka doa tersebut akan bergerak dan berhembus
menuju angkasa, menembus awan, mencapai langit, dan diamini oleh para
malaikat, kemudian Alloh Ta’ala mengabulkannya. Rosululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
Tiga doa yang tidak tertolak : doa orang tua, doa orang yang berpuasa
dan doa orang yang terdzolimi. (HR. al-Baihaqi dalam Sunan Kubro : 6185
dan dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah : 1797)
Demikianlah penjelasan mengenai lima maksiat yang akan disegerakan
balasannya di Akhir zaman. Semoga setelah membaca artikel ini dapat
menambah keimanan kepada Allah dan menjauhkan diri dari perbuatan keji
dan mungkar. Karena sesungguhnya hukuman Allah itu berasal dari
perbuatan dosa yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Tetaplah menjadi
hamba Allah yang beriman dan bertakwa.
Rabu, 10 Februari 2016
Senin, 08 Februari 2016
Pengertian Semantik, Hakikat dan Jenis Makna
1.
Apakah Semantik Itu?
Ada
dua cabang utama linguistik yang khusus menyangkut kata yaitu etimologi,
studi tentang asal usul kata, dan semantik atau ilmu makna, studi
tentang makna kata. Di antara kedua ilmu itu, etimologi sudah merupakan
disiplin ilmu yang lama mapan (established), sedangkan semantik relatif
merupakan hal yang baru.
Kata
semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau
lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis
bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai
istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang
tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata
semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu
salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik
(Chaer, 1994: 2).
Sebuah
kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bumyi yaitu [b-u-k-u]
dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku.
Menurut Ogden dan Richards (1923), dalam karya klasik tentang “teori semantik
segi tiga” , kaitan antara lambang, citra mental atau konsep, dan referen atau
objek dapat dijelaskan dengan gambar dan uraian sebagai berikut.
Makna
kata buku adalah konsep buku yang tersimpan dalam otak kita dan
dilambangkan dengan kata buku. Gambar di samping menunjukkan bahwa di antara
lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa
dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung
(digambarkan
dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara
konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.
Dalam
analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya maka, analisis suatu
bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat digunakan untuk
menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia
merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai
lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi kata iwak
dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga
berarti daging yang digunakan sebagai lauk.
2.
Hakikat Makna
Menurut
teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah
’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah
tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua
unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified)
dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier).
Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari
pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan
(signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem
bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri
dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa
(intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang
merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Yang
menandai (intralingual) yang ditandai (ekstralingual)
Dalam
bidang semantik istilah yang biasa digunakan untuk tanda-linguistik itu adalah
leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan
bermakna (Harimurti, 1982:98). Sedangkan istilah kata,yang lazim didefinisikan
sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri yang dapat terjadi dari morfem
tunggal atau gabungan morfem (Harimurti, 1982:76) adalah istilah dalam bidang
gramatika. Dalam makalah ini kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian
yang sama.
Yang
perlu dipahami adalah tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret
di dunia nyata. Misalnya leksem seperti agama, cinta, kebudayaan, dan keadilan
tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret. Di dalam penggunaannya dalam
pertuturan, yang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga
biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya.
Misal kata buaya dalam kalimat (1).
(1).
Dasar buaya, ibunya sendiri ditipunya.
Oleh
karena itu, kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah
berada dalam konteks kalimatnya. Makna sebuah kalimat baru dapat ditentukan
apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya.
Contoh, seorang setelah memeriksa buku rapor anaknya dan melihat angka-angka
dalam buku rapor itu banyak yang merah, berkata kepada anaknya dengan nada
memuji.
(2).
”Rapormu bagus sekali, Nak!”
Jelas,
dia tidak bermaksud memuji walaupun nadanya memuji. Dengan kalimat itu dia
sebenarnya bermaksud menegur tau mungkin mengejek anaknya itu.
3.
Jenis Makna
Menurut
Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut
pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal
dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata
atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial,
berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan
adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya
dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu
berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya
makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya.
3.1
Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal
adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari
leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau
leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem
dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat
diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat
kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang
sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera,
atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994).
Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang
dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam
kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal
akibat serangan hama tikus.
Makna
leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal
berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka
makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses
gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi
(Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu
seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam
kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan
makna gramatikal ’tidak sengaja’.
3.2
Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan
makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen
dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar
bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna
referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut
kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna
referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang
disebut ’meja’. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen, jadi
kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
3.3
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna
denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif
lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi
menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.
Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh
karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer,
1994). Umpama kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai
dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah
kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”,
baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan
tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna
konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah
dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang
konotasinya positif.
3.4
Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap
kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru
menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang
jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh
karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu
diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan
tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh
berikut
(1)
Tangannya luka kena pecahan kaca.
(2)
Lengannya luka kena pecahan kaca.
Kata
tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim
atau bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna
yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari
tangan; sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke
pangkal bahu.
3.5
Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech
(1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang
dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem
terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna
konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna
konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan
makna referensial.
Makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya,
kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
3.6
Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom
adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna
unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari
idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja
hijau dengan makna ’pengadilan’.
Berbeda
dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau
dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli
dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing
dengan kucing yang bermakna ’dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah
akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan
kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
3.7
Makna Kias
Dalam
kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi
dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau
kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti
konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi,
bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang
dalam arti ’matahari’.
4.
Relasi Makna
disebut
relasi makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan
beberapa wujud relasi makna.
Secara
semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa
kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna
ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang
bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim.
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun,
dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya
kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.
4.2
Antonimi dan Oposisi
Secara
semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya
berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya
dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang
berantonimi dengan kata buruk; kata besar berantonimi dengan kata
kecil.
Sama
halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam
batasan di atas, Verhaar menyatakan ”…yang maknanya dianggap kebalikan dari
makna ungkapan lain” Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan
dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi,
maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang
bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi
contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan
contoh yang hanya berkontras.
4.3
Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Homonimi
adalah ‘relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi
maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut
homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon.
Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu
(paham), sedang kata masa (waktu) berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang
menjadi satu kesatuan).
4.4
Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi
adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna
generis, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna
binatang’. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan
kucing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang. Bunga merupakan
superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan
binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.
4.5
Polisemi
Polisemi
lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang
memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia
memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang
terletak disebelah atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama
seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api;
(3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala
paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala
sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau
orang seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.;
dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya
kosong.
4.6
Ambiguitas
Ambiguitas
atau ketaksaab sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua
arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang
lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran
struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya frase buku sejarah baru
dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi
sejarah zaman baru.
4.7
Redundansi
Istilah
redundansi sering diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental
dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih,
maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih.
Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang
redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.
4.8
Meronimi
Meronimi
adalah ’relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi karena relasi
maknanya bersifat hierarkis, namun tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi
merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan’. Contohnya adalah atap
bermeronimi dengan rumah.
4.9
Makna Asosiatif
Makna
asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar
kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan
pengalaman seseorang. Oleh karena itu, makna asosiatif terutama dikaji bidang
psikolinguistik. Makna denotatif villa adalah ’rumah peristirahatan di luar
kota’. Selain makna denotatif itu, bagi kebanyakan orang Indonesia villa juga
mengandung makna asosiatif ’gunung’, ’alam’, ’pedesaan’, ’sungai’, bergantung
pada pengalaman seseorang.
4.10
Makna Afektif
Makna
afektif berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau membaca kata
tertentu. Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Kata jujur, rendah
hati, dan bijaksana menimbulkan makna afektif yang positif, sedangkan korupsi
dan kolusi menimbulkan makna afektif yang negatif.
4.11
Makna Etimologis
Makna
etimologis berbeda dengan makna leksikal karena berkaitan dengan asal-usul kata
dan perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis
suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi dengan kata tertentu. Melalui perubahan
makna kata, dapat ditelusuri perubahan nilai, norma, keadaan sosial-politik,
dan keadaan ekonomi suatu masyarakat.
Daftar Pustaka
Cahyono,
Bambang Yudi. 1994. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University
Press.
Chaer,
Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Kushartanti,
Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. 2005. Pesona Bahasa Langkah Awal
Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.Pragmatika
Pragmatika adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan antara konteks dan makna. Ilmu ini mempelajari bagaimana penyampaian makna tidak hanya bergantung pada pengetahuan linguistik (tata bahasa, leksikon,
dll) dari pembicara dan pendengar, tapi juga dari konteks penuturan,
pengetahuan tentang status para pihak yang terlibat dalam pembicaraan,
maksud tersirat dari pembicara.
Sumber Kajian Pragmatik
Sebagai disiplin ilmu, Pragmatika juga bersumber pada beberapa ilmu yang lainnya, antara lain:[1]- Filsahah Kebahasaan: mempelajari bahasa dari sudut pandang suatu ungkapan atau ujaran yang dituturkan
- Sosiolinguistik:mempelajari bahasa dari sudut pandang tujuan dan situasi pemakaiannya di dalam masyarakat
- Antropologi:mempelajari bahasa dari sudut pandang asal-usul suatu bahasa yang digunakan
- Etnografi Bahasa:mempelajari bahasa dari sudut pandang sosiolingustik dimana serta kapan bahasa tersebut digunakan dalam berkomunikasi
- Lingusitik:mempelajari bahasa dari sudut pandang struktur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi
Variasi Bahasa
Dalam mempelajari ilmu Pragmatika, berbagai bahasa mempunyai ragam bahasa/variasi bahasa yang selalu menyesuaikan dengan konteks dan keadaan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi variasi suatu bahasa, antara lain:[2]
- Faktor geografis: mempelajari di daerah mana bahasa itu dipakai
- Faktor kemasyrakatan: mempelajari siapa yang memakai bahasa dan bagaimana latar belakang masayrakat yang memakai bahasa
- Faktor situasi berbahasa: mempelajari situasi pengguna bahasa, tempat penggunaan bahasa, dan tema yang diperbincangkan
- Faktor waktu:mempejari kurun waktu suatu bahasa yang dipergunakan
Macam Tindak Bahasa
Austin memisahkan 3 macam tindak bahasa yang terjadi yaitu :[7]- Tindak lokusi yang mengaitkan suatu topik dengan suatu keterangan dalam ungkapan.
- Tindak ilokusi yaitu pengucapan suatu pernyataan, pertanyaan, penawaran, janji, dsb.
- Tindak perlokusi yaitu hasil atau efek yang dihasilkan oleh suatu ungkapan yang sesuai situasi dan susana.
Alasan
Alasan pemunculan pragmatik dalam kurikulum 1984 bervariasi :- Praktik, kemampuan/keterampilan bahasa siswa masih kurang; bahasanya berbelit-belit dan banyak didominasi oleh bahasa daerah.
- Karena penggunaan bahasa Indonesia siswa belum baik, maka siswa masih perlu banyak belajar menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar; (3) pencapaian hasil pelajaran bahasa Indonesia belum memuaskan.
- Pragmatik melengkapi pelajaran bahasa Indonesia secara utuh.
- Pragmatik menunjang pencapaian tujuan pelajaran bahasa Indonesia dan selalu ada dalam pergaulan hidup sehari-hari.
- Pragmatik tidak terlalu kentara dalam pokok-pokok bahasan lain dalam pelajaran bahasa Indonesia.
- Alasan perkembangan bahasa.[8]
Semantik
Semantik (dari Bahasa Yunani: semantikos[1][2], memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda) adalah cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata lain, Semantik adalah pembelajaran tentang makna. Semantik biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain: sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.
Semantik Linguistik adalah studi tentang makna yang digunakan untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa. Bentuk lain dari semantik mencakup semantik bahasa pemrograman, logika formal, dan semiotika.
Kata semantik itu sendiri menunjukkan berbagai ide - dari populer yang sangat teknis. Hal ini sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menandakan suatu masalah pemahaman yang datang ke pemilihan kata atau konotasi. Masalah pemahaman ini telah menjadi subyek dari banyak pertanyaan formal, selama jangka waktu yang panjang, terutama dalam bidang semantik formal. Dalam linguistik, itu adalah studi tentang interpretasi tanda-tanda atau simbol yang digunakan dalam agen atau masyarakat dalam keadaan tertentu dan konteks.[3] Dalam pandangan ini, suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan proxemics memiliki semantik konten (bermakna), dan masing-masing terdiri dari beberapa cabang studi. Dalam bahasa tertulis, hal-hal seperti struktur ayat dan tanda baca menanggung konten semantik, bentuk lain dari bahasa menanggung konten semantik lainnya [3].
Studi formal semantik bersinggungan dengan banyak bidang penyelidikan lain, termasuk leksikologi, sintaksis, pragmatik, etimologi dan lain-lain, meskipun semantik adalah bidang yang didefinisikan dengan baik dalam dirinya sendiri, sering dengan sifat sintetis.[4] Dalam filsafat bahasa, semantik dan referensi berhubungan erat. Bidang-bidang terkait termasuk filologi, komunikasi, dan semiotika. Studi formal semantik karena itu menjadi kompleks.
Semantik berbeda dengan sintaks, studi tentang kombinatorik unit bahasa (tanpa mengacu pada maknanya), dan pragmatik, studi tentang hubungan antara simbol-simbol bahasa, makna, dan pengguna bahasa.[5]
Dalam kosakata ilmiah internasional,semantik juga disebut semasiologi.
Semantik Linguistik adalah studi tentang makna yang digunakan untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa. Bentuk lain dari semantik mencakup semantik bahasa pemrograman, logika formal, dan semiotika.
Kata semantik itu sendiri menunjukkan berbagai ide - dari populer yang sangat teknis. Hal ini sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menandakan suatu masalah pemahaman yang datang ke pemilihan kata atau konotasi. Masalah pemahaman ini telah menjadi subyek dari banyak pertanyaan formal, selama jangka waktu yang panjang, terutama dalam bidang semantik formal. Dalam linguistik, itu adalah studi tentang interpretasi tanda-tanda atau simbol yang digunakan dalam agen atau masyarakat dalam keadaan tertentu dan konteks.[3] Dalam pandangan ini, suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan proxemics memiliki semantik konten (bermakna), dan masing-masing terdiri dari beberapa cabang studi. Dalam bahasa tertulis, hal-hal seperti struktur ayat dan tanda baca menanggung konten semantik, bentuk lain dari bahasa menanggung konten semantik lainnya [3].
Studi formal semantik bersinggungan dengan banyak bidang penyelidikan lain, termasuk leksikologi, sintaksis, pragmatik, etimologi dan lain-lain, meskipun semantik adalah bidang yang didefinisikan dengan baik dalam dirinya sendiri, sering dengan sifat sintetis.[4] Dalam filsafat bahasa, semantik dan referensi berhubungan erat. Bidang-bidang terkait termasuk filologi, komunikasi, dan semiotika. Studi formal semantik karena itu menjadi kompleks.
Semantik berbeda dengan sintaks, studi tentang kombinatorik unit bahasa (tanpa mengacu pada maknanya), dan pragmatik, studi tentang hubungan antara simbol-simbol bahasa, makna, dan pengguna bahasa.[5]
Dalam kosakata ilmiah internasional,semantik juga disebut semasiologi.
Linguistik
Dalam linguistik, semantik adalah sub bidang yang
dikhususkan untuk studi tentang makna, seperti yang melekat di tingkat kata,
frasa, kalimat, dan unit yang lebih besar dari wacana (disebut teks). Daerah
dasar studi ini adalah arti dari tanda-tanda, dan studi tentang hubungan antara
unit linguistik yang berbeda dan senyawa: homonimi,
sinonim, antonim, hypernymy,
hyponymy,
meronymy,
metonimia, holonymy,
paronyms.
Perhatian utama adalah bagaimana makna menempel pada potongan yang lebih besar
dari teks, mungkin sebagai akibat dari komposisi dari unit yang lebih kecil
dari makna. Secara tradisional, semantik sudah termasuk studi tentang arti dan
referensi denotatif, kondisi kebenaran, struktur argumen, peran tematik, analisis
wacana, dan hubungan semua ini untuk sintaks.
Apa yang Dipelajari oleh Ilmu Bahasa (linguistik)? (Bahan Kuliah Sosiolinguistik)
Bahasa dipelajari atau dikaji oleh disiplin ilmu yang disebut
linguistik atau ilmu bahasa. Seperti halnya disiplin-displin yang lain,
linguistik juga memiliki tiga pilar penyangga, yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi merupakan asas penetapan objek dan wilayah kajian dan karenanya menjawab pertanyaan apa yang dikaji, termasuk apa bentuk realitasnya (konkret, abstrak, atau simbolik). Epistemologi merupakan asas penetapan bagaimana cara mempelajari atau memperolehnya, dan karenanya menjawab pertanyaan bagaimana mengkajinya, karena itu bersifat metodologis. Metodologi penelitian merupakan epistemologinya pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan asas penetapan tujuan dan manfaat pengetahuan, dan karenanya menjawab pertanyaan apa tujuan dan manfaat pengetahuan yang akan dikaji. Berikut uraian ketiga pilar penyangga tersebut.
1. Apa Wilayah Penelitian Bahasa?
Setiap ilmu niscaya memiliki ciri dan kekhususan masing-masing, kendati antara yang satu dengan yang lainnya dapat saling bersentuhan. Dengan demikian, setiap kajian tentang metode keilmuan tertentu, termasuk ilmu bahasa, perlu terlebih dahulu menjawab pertanyaan: (1) apa bahan kajian ilmu bahasa, (2) bagaimana cara mengkaji ilmu bahasa, dan (3) apa manfaat dan tujuan ilmu bahasa.
Secara ontologik, ilmu bahasa mengkaji berbagai gejala bahasa, dan tali-temali bahasa dengan gejala lain. Wardhaugh (1986: 1) menyebutkan “…a language is what the members of a particular society speak”. Sebelumnya Saussure (1973: 16) mendefinisikan bahasa sebagai “.. a system of signs that express ideas”. Jadi, pada hakikatnya bahasa adalah lisan. Dengan demikian, bahan kajian primer ilmu bahasa adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa tulisan merupakan bahan kajian sekunder (Verhaar, 1976: 3).
2. Mengapa Bahasa Lisan Utama?
Tokoh hermeneutika kontemporer seperti Gadamer memandang bahwa menurut kodratnya bahasa adalah “lisan”, kemudian disusul bahasa tulis demi efektivitas dan kelestarian bahasa tutur. Perubahan bahasa dari tutur ke tulis mengandung banyak kelemahan, misalnya kehilangan konteks dan daya ekspresi penuturnya (Rahardjo, 2005: 84).
Pemikiran di atas tidak lepas dari gagasan dasar yang dikemukakan Ferdinand de Saussure lewat karyanya Cours de Linguistique Generale. Pemikiran Saussure yang kemudian disebut sebagai linguistik modern menekankan pada aspek struktur bahasa, sehingga paham ini disebut sebagai linguistik struktural. Saussure mengembangkan konsep tentang hakikat bahasa yang dibedakan atas tiga pengertian, yaitu langue, langage, dan parole.
Menurut Saussure, gejala paling konkret bahasa adalah ujaran (parole). Gejala lebih abstrak, karena menyangkut kaidah-kaidah bahasa tertentu secara tepat, berupa langue. Bahasa Inggris dengan segala kaidahnya, misalnya, merupakan langue. Sedangkan yang paling abstrak adalah langage, yang mencakup tidak hanya kaidah satu bahasa, tetapi kaidah umum berbagai bahasa.
3. Apa Saja Gejala Bahasa itu?
Secara sederhana, ada lima wujud gejala bahasa. Karena kelahiran bahasa bermula dari ujaran (speech), maka gejala terkecil bahasa adalah bunyi (sound, phone) yang direpresentasikan dalam bentuk huruf. Gejala ini dipelajari oleh cabang kajian fonetik atau fonologi (phonetics or phonology). Gejala bahasa terkecil kedua berupa morfem (morpheme) dan kata (words). Serba-serbi kata dipelajari oleh morfologi (morphology), perbendaharaan kata ini dipelajari oleh leksikologi (lexicology), sedangkan kata sebagai tanda dikaji oleh semiotika (semiotics) atau semiologi.
Gejala bahasa berupa kelompok kata, baik berupa frasa (phrase) maupun kalimat (sentence) yang tersusun secara tertentu (structure) dipelajari oleh cabang kajian sintaksis (syntax). Karena bahasa niscaya digunakan untuk bertukar pesan, maka unsur sangat penting bahasa berikutnya adalah makna (meaning). Gejala bahasa ini dipelajari oleh cabang kajian semantika (semantics). Selanjutnya, gejala bahasa berupa percakapan dan atau wacana (conversation and or discourse) dipelajari baik oleh cabang kajian pragmatika (pragmatics), hermeneutika (hermeneutics), analisis isi (content analysis), maupun analisis wacana (discourse analysis). Seluruh cabang ilmu bahasa yang mempelajari sistematika bahasa tanpa mengaitkan dengan perkembangan atau sejarahnya disebut sebagai kajian linguistik sinkronik (synchronic-linguistics).
4. Bagaimana Hubungan Gejala Bahasa dengan Gejala Khas Manusia yang Lain?
Sebagai gejala khas manusia, bahasa juga tidak dapat dipisahkan dengan gejala khas manusia yang lain. Gejala ini melahirkan bidang kajian lintas disiplin (inter-disciplinary study). Tali-temali bahasa dengan masyarakat, misalnya, dipelajari oleh cabang kajian sosiolinguistik dan sosiologi bahasa (sociolinguistics and sociology of language). Hubungan bahasa dengan jiwa manusia, termasuk proses pemerolehan bahasa pertama (first-language acquisition), speech comprehension and production dipelajari oleh cabang kajian yang disebut psikolinguistik (psycholinguistics). Hubungan bahasa dengan ilmu pendidikan, misalnya, pembelajaran bahasa kedua (second-language learning), dipelajari oleh cabang kajian linguistik terapan (applied-linguistics). Kenyataan yang terkait dengan masa kuno dari sesuatu bahasa dengan sejarah atau perkembangan bahasa, dipelajari oleh linguistik diakronik (diachronic-linguistics). Bahasa juga bersentuhan dengan antropologi yang kemudian dipelajari oleh cabang kajian antropolinguistik (anthropolinguistics). Relasi bahasa dengan ilmu neurologi dikaji oleh cabang kajian yang disebut neurolinguistik (neurolinguistics), sedangkan kajian yang mempelajarai bahasa dengan kehidupan manusia pada umumnya (etnometodologi) disebut etnolinguistik (ethnolinguistics).
Gejala baru dalam bidang kebahasaan dengan memanfaatkan piranti teknologi modern melahirkan cabang disiplin baru dalam ilmu disebut language computing. Language computing bukan komputerisasi bahasa, melainkan cabang linguistik dengan memanfaatkan komputer untuk memahami bahasa selain berfungsi sebagai alat bantu komunikasi, khususnya lewat internet. Di antara sekian banyak cabang interdisciplinary studies tersebut, tampaknya baru cabang sosiolinguistik dan psikolinguistik yang sudah berkembang pesat.
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi merupakan asas penetapan objek dan wilayah kajian dan karenanya menjawab pertanyaan apa yang dikaji, termasuk apa bentuk realitasnya (konkret, abstrak, atau simbolik). Epistemologi merupakan asas penetapan bagaimana cara mempelajari atau memperolehnya, dan karenanya menjawab pertanyaan bagaimana mengkajinya, karena itu bersifat metodologis. Metodologi penelitian merupakan epistemologinya pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan asas penetapan tujuan dan manfaat pengetahuan, dan karenanya menjawab pertanyaan apa tujuan dan manfaat pengetahuan yang akan dikaji. Berikut uraian ketiga pilar penyangga tersebut.
1. Apa Wilayah Penelitian Bahasa?
Setiap ilmu niscaya memiliki ciri dan kekhususan masing-masing, kendati antara yang satu dengan yang lainnya dapat saling bersentuhan. Dengan demikian, setiap kajian tentang metode keilmuan tertentu, termasuk ilmu bahasa, perlu terlebih dahulu menjawab pertanyaan: (1) apa bahan kajian ilmu bahasa, (2) bagaimana cara mengkaji ilmu bahasa, dan (3) apa manfaat dan tujuan ilmu bahasa.
Secara ontologik, ilmu bahasa mengkaji berbagai gejala bahasa, dan tali-temali bahasa dengan gejala lain. Wardhaugh (1986: 1) menyebutkan “…a language is what the members of a particular society speak”. Sebelumnya Saussure (1973: 16) mendefinisikan bahasa sebagai “.. a system of signs that express ideas”. Jadi, pada hakikatnya bahasa adalah lisan. Dengan demikian, bahan kajian primer ilmu bahasa adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa tulisan merupakan bahan kajian sekunder (Verhaar, 1976: 3).
2. Mengapa Bahasa Lisan Utama?
Tokoh hermeneutika kontemporer seperti Gadamer memandang bahwa menurut kodratnya bahasa adalah “lisan”, kemudian disusul bahasa tulis demi efektivitas dan kelestarian bahasa tutur. Perubahan bahasa dari tutur ke tulis mengandung banyak kelemahan, misalnya kehilangan konteks dan daya ekspresi penuturnya (Rahardjo, 2005: 84).
Pemikiran di atas tidak lepas dari gagasan dasar yang dikemukakan Ferdinand de Saussure lewat karyanya Cours de Linguistique Generale. Pemikiran Saussure yang kemudian disebut sebagai linguistik modern menekankan pada aspek struktur bahasa, sehingga paham ini disebut sebagai linguistik struktural. Saussure mengembangkan konsep tentang hakikat bahasa yang dibedakan atas tiga pengertian, yaitu langue, langage, dan parole.
Menurut Saussure, gejala paling konkret bahasa adalah ujaran (parole). Gejala lebih abstrak, karena menyangkut kaidah-kaidah bahasa tertentu secara tepat, berupa langue. Bahasa Inggris dengan segala kaidahnya, misalnya, merupakan langue. Sedangkan yang paling abstrak adalah langage, yang mencakup tidak hanya kaidah satu bahasa, tetapi kaidah umum berbagai bahasa.
3. Apa Saja Gejala Bahasa itu?
Secara sederhana, ada lima wujud gejala bahasa. Karena kelahiran bahasa bermula dari ujaran (speech), maka gejala terkecil bahasa adalah bunyi (sound, phone) yang direpresentasikan dalam bentuk huruf. Gejala ini dipelajari oleh cabang kajian fonetik atau fonologi (phonetics or phonology). Gejala bahasa terkecil kedua berupa morfem (morpheme) dan kata (words). Serba-serbi kata dipelajari oleh morfologi (morphology), perbendaharaan kata ini dipelajari oleh leksikologi (lexicology), sedangkan kata sebagai tanda dikaji oleh semiotika (semiotics) atau semiologi.
Gejala bahasa berupa kelompok kata, baik berupa frasa (phrase) maupun kalimat (sentence) yang tersusun secara tertentu (structure) dipelajari oleh cabang kajian sintaksis (syntax). Karena bahasa niscaya digunakan untuk bertukar pesan, maka unsur sangat penting bahasa berikutnya adalah makna (meaning). Gejala bahasa ini dipelajari oleh cabang kajian semantika (semantics). Selanjutnya, gejala bahasa berupa percakapan dan atau wacana (conversation and or discourse) dipelajari baik oleh cabang kajian pragmatika (pragmatics), hermeneutika (hermeneutics), analisis isi (content analysis), maupun analisis wacana (discourse analysis). Seluruh cabang ilmu bahasa yang mempelajari sistematika bahasa tanpa mengaitkan dengan perkembangan atau sejarahnya disebut sebagai kajian linguistik sinkronik (synchronic-linguistics).
4. Bagaimana Hubungan Gejala Bahasa dengan Gejala Khas Manusia yang Lain?
Sebagai gejala khas manusia, bahasa juga tidak dapat dipisahkan dengan gejala khas manusia yang lain. Gejala ini melahirkan bidang kajian lintas disiplin (inter-disciplinary study). Tali-temali bahasa dengan masyarakat, misalnya, dipelajari oleh cabang kajian sosiolinguistik dan sosiologi bahasa (sociolinguistics and sociology of language). Hubungan bahasa dengan jiwa manusia, termasuk proses pemerolehan bahasa pertama (first-language acquisition), speech comprehension and production dipelajari oleh cabang kajian yang disebut psikolinguistik (psycholinguistics). Hubungan bahasa dengan ilmu pendidikan, misalnya, pembelajaran bahasa kedua (second-language learning), dipelajari oleh cabang kajian linguistik terapan (applied-linguistics). Kenyataan yang terkait dengan masa kuno dari sesuatu bahasa dengan sejarah atau perkembangan bahasa, dipelajari oleh linguistik diakronik (diachronic-linguistics). Bahasa juga bersentuhan dengan antropologi yang kemudian dipelajari oleh cabang kajian antropolinguistik (anthropolinguistics). Relasi bahasa dengan ilmu neurologi dikaji oleh cabang kajian yang disebut neurolinguistik (neurolinguistics), sedangkan kajian yang mempelajarai bahasa dengan kehidupan manusia pada umumnya (etnometodologi) disebut etnolinguistik (ethnolinguistics).
Gejala baru dalam bidang kebahasaan dengan memanfaatkan piranti teknologi modern melahirkan cabang disiplin baru dalam ilmu disebut language computing. Language computing bukan komputerisasi bahasa, melainkan cabang linguistik dengan memanfaatkan komputer untuk memahami bahasa selain berfungsi sebagai alat bantu komunikasi, khususnya lewat internet. Di antara sekian banyak cabang interdisciplinary studies tersebut, tampaknya baru cabang sosiolinguistik dan psikolinguistik yang sudah berkembang pesat.
Sosiolinguistik
Oleh: Ening Herniti
1. Pengertian
Sosiolinguistik
Berbicara mengenai sosiolinguistik (الاجتماعي اللغوي) berkaitan erat dengan bahasa (language)
dan masyarakat (society) serta fungsi-fungsi bahasa dalam masyarakat.
Bahasa didefinisikan sebagai alat komunikasi verbal yang dipergunakan oleh
masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok atau beberapa kelompok orang yang
sama-sama memiliki tujuan tertentu[1].
Secara
etimologis, sosiolinguistik berasal dari
kata sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur
dan proses-proses sosial[2].
Sementara itu, linguistik adalah disiplin yang mempelajari struktur bahasa
tanpa mengkaji konteks sosial tempat struktur itu dipelajari atau digunakan[3].
Jadi, sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari dan membahas
aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan yang terdapat
di dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan.
Menurut Fishman,
sosiolinguistik adalah ilmu yang
membahas hubungan antara pemakaian bahasa dan perilaku sosial[4].
Fishman memformulasikan sosiolinguistik adalah “siapa berkata apa”. Sementara
itu, formulasi Labov adalah “mengapa seseorang mengatakan sesuatu[5].
Wardhaugh mendefinisikan sosiolinguitik adalah ilmu yang mengkaji bahasa dalam
hubungannya dengan faktor-faktor sosial yang hidup di dalam masyarakat
penuturnya. Soetomo memberi definisi sosiolinguistik sebagai ilmu yang
membicarakan bentuk-bentuk serta perubahan bahasa dikaitkan dengan fungsi
sosialnya di dalam masyarakat pemakainya[6].
Lebih lanjut ia membedakan dengan istilah sosiologi bahasa. Berdasarkan objek
kajiannya kedua ilmu tersebut berbeda. Objek kajian sosiolinguistik adalah
bahasa, sementara itu, objek kajian sosiologi bahasa adalah manusia sebagai
anggota masyarakat yang berinteraksi satu degan yang lain lewat bahasa.
2. Latar Belakang
Sosiolinguistik
Sosiolinguitik lahir karena
ketidakpuasan ahli bahasa terhadap linguistik struktural yang hanya mengkaji
bahasa dari segi strukturalnya dengan mengabaikan faktor sosial dalam analisisnya. Konsep sosiolinguistik sebenarnya sudah
tampak pada laporan penelitian yang dilakukan Labov dengan judul The Social
Stratification of English in New York City[7].
J.R. Firth, pendiri linguistik aliran London,
berpendapat bahwa tuturan itu mempunyai fungsi sosial sebagai alat komunikasi
dan mengidentifikasikan kelompok-kelompok sosial. Oleh karena itu, studi
tentang tuturan tanpa mempertimbangkan mayarakat penuturnya akan kehilangan
kemungkinan-kemungkinan untuk menjelaskan struktur bahasa yang dipakai[8].
Menurut
Hymes, istilah sosiolinguistik mulai dikenal pada tahun 1960-an. Dekade ini
ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Language in Culture and Society
oleh Dell Hymes pada tahun 1966. Pada tahun 1968 Fishman menulis dalam kumpulan
karangan yang diberi judul Reading in The Sociology of Language. Pada
tahun yang sama Ferguson, Fishman, dan Das Gupta menerbitkan
kumpulan makalah yang diberi judul Language Problems of Developing Nations.
3. Metodologi
Metode yang digunakan adalah metode
linguistik dan sosiologi. Metode-metode linguistik dipakai untuk
mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa serta unsur-unsurnya dengan notasi
tanda-tanda fonetik/fonemik. Metode sosiologi biasa dipakai dalam mengumpulkan
data seperti, observasi, kuesioner, dan
wawancara. Analisisnya dapat menggunakan metode statistik, yakni untuk
mendapatkan pola-pola umun dalam tindak laku berbahasa.
Objek kajian sosiolinguistik dapat diteliti berdasarkan pada tiga langkah,
yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Ada prinsip
yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek
luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu
sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi.
Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan
aspek sosial (sosial budaya masyarakat). Seorang peneliti dalam bidang
sosiolinguistik harus dapat membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif)
dan bahasa sebagaimana seharusnya (preskriptif atau sering pula disebut
normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti
sebagaimana adanya. Oleh karena itu, bahan atau data linguistik yang diperoleh
harus bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh
dibuat-buat (contrived).
Ada dua metode penyediaan data yaitu metode observasi dan
metode wawancara Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian
linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan metode wawancara
disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993). Metode observasi adalah metode
penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya.
Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti pemakaian peribahasa, maka ia harus
mengumpulkan peribahasa itu bersama dengan teks-teks lain yang menyertainya,
para pemakai peribahasa itu, dan juga unsur-unsur nonverbal lain yang
melatarinya, termasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya. Pemakaian
metode observasi dengan bahan teks sebagai acuan disebut penelitian kepustakaan
(library research), sedangkan metode observasi dengan bahan teks dengan
konteks yang lebih luas disebut
penelitian lapangan (field research). Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan
pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak
terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai metode
observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta, sedangkan observasi
tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi nonpartisipasi
atau metode observasi tidak berperan serta.
Nama-nama metode ini lazim dipakai dalam literatur metodologi penelitian
sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial lainnya ( Nasution, 2004:
106-113). Perlu diberi catatan bahwa Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan
metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode
observasi nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap. Metode wawancara
adalah metode penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan
informan secara langsung.
Metode analisis dalam kajian sosiolinguistik ini dapat
dibagi ke dalam dua jenis, pertama, metode korelasi atau metode pemadanan, yakni metode yang berkaitan dengan pengkorelasian objek
bahasa secara eksternal dengan unsur nonbahasa, dan kedua, metode operasi atau metode distribusi, yakni metode yang berkaitan dengan pembedahan, pengolahan,
atau pengotak-atikan teks verbal secara internal. Metode korelasi adalah metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam
hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Metode operasi atau metode distribusi adalah metode analisis yang
menguraikan unsur-unsur substansial objek kajian dan mendistribusikannya dengan
unsur-unsur verbal lainnya untuk mendapatkan pola, aturan atau kaidah yang
berhubungan dengan konteks situasi dan sosial budayanya.
4. Objek Kajian
Objek sosiolinguistik adalah aspek
bahasa yang bersifat hiterogen (la parole), yakni bahasa dalam wujudnya
setelah terimplementasi dalam tindak komunikasi. Butir-butir penelitian
sosiolinguistik meliputi:
1)
Fonem
2)
Morfem
3)
Kata (leksikon)
4)
Frasa
5)
Klausa
6)
Kalimat
7)
Paragraf
8)
Wacana
9)
Dialog
10)
Ideolek
11)
Dialek regional
12)
Kronolek (dialek waktu)
13)
Sosiolek (dialek sosial): a. dialek umur
b.
dialek jenis kelamin
c.
dialek etnik
d.
dialek ideologi
e.
dialek kelas sosial
f.
dialek keterdidikan
14) unda usuk atau
tingkat tutur (speech level)
15) ragam: a.
formal (akrolek)
b. informal (basilek)
c. literer (sastra)
16) register
17) bahasa, yakni
makna pemakain atau pemilihan bahasa sebagai salah satu kode dalam masayarakat
tutur yang multilingual.
5. Tujuan
Sosiolinguistik membahas hubungan
antara pemakaian bahasa dan perilaku sosial. Dengan membahas pemakaian bahasa,
seseorang akan dapat mengetahui berbagai
kondisi, nilai-nilai , kepercayaan, sistem etika, aturan, dan lainnya yang
membentuk dan memberikan ciri khusus kepada kelompok-kelompok masyarakat
pemakai bahasa itu. Sosiolinguistik
mencatat dan menelaah bahasa yang dipergunakan seseorang ketika berbicara
dengan teman bicaranya. Selain itu, sosiolinguistik juga menelaah bahasa yang
dipergunakan seseorang dengan segala cara penyampaiannya, seperti tanda-tanda
berupa kata-kata maupun isyarat yang menyatakan bahwa ia sedang mendengarkan
baik-baik, setuju atau tidak setuju[9].
Keadaan sosiolinguistik Indonesia
cukup kompleks karena berdasarkan peta bahasa yang diterbitkan Lembaga Bahasa
Nasional (kini Pusat Bahasa) tahun 1972 bahwa ada kurang lebih 480 bahasa
daerah di Indonesia. Jumlah penutur tiap bahasa berkisar 100 orang (di Irian
Jaya) sampai kurang lebih 50 juta orang (bahasa Jawa)[10].
Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar hampir
di seluruh wilayah Indonesia,
terutama daerah perkotaan. Hampir 87% penduduk Indonesia
dapat mengerti bahasa Indonesia.
Sementara itu, lebih dari 65% penduduk Indonesia
dapat menggunakan bahasa Indonesia.
Pada umumnya, bahasa ibu orang Indonesia
adalah bukan bahasa Indonesia (sering disebut bahasa daerah) dan baru mengenal
bahasa Indonesia ketika masuk usia sekolah karena bahasa pengantar di sekolah
adalah bahasa Indonesia.
Namun, saat ini anak-anak Indonesia
sudah mulai mengenal bahasa Indonesia sejak masih kecil karena adanya siaran
televisi atau radio dalam bahasa Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia yang
hanya bisa menggunakan bahasa Indonesia meningkat karena adanya perkawinan
antarsuku. Selain itu, karena faktor ekonomi, di kota-kota besar di Indonesia
bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya jumlah bahasa
lain yang bukan bahasa Indonesia cukup banyak. Jumlahnya adalah 706 bahasa.
Dari jumlah tersebut, bahasa yang besar dari sudut jumlah pemakai adalah bahasa
Jawa, Sunda, Madura, Bali, Minangkabau, dan
Batak.
Jika menggabungkan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu lainnya,
jumlah penutur bahasa Melayu saat ini adalah sekitar 260 juta orang. Jumlah itu
diperoleh dari 234 juta penduduk Indonesia, 20 juta penduduk Malaysia, dan
beberapa ribu orang Melayu di Brunei, Singapura, Thailand, Filipina, dan Afrika
Selatan.
Sebagian besar orang Indonesia
belajar bahasa daerah sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu. Sementara itu,
mereka belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolah atau secara
informal dalam masyarakat.
7. Keadaan
Sosiolinguistik di Arab
Bahasa
Arab adalah bahasa yang masuk dalam subrumpun Semit dari rumpun Hamito-Semit
atau Afro-Asiatik. Bahasa ini termasuk dalam bahasa klasik yang paling luas
penggunaannya di dunia ini daripada bahasa-bahasa klasik lainnya, seperti
bahasa Latin, bahasa Sanskerta, bahasa Ibrani, dan bahasa lainnya. Hal
ini terjadi karena bahasa ini merupakan bahasa Quran yang dibaca oleh kaum
muslimin di penjuru dunia dan digunakan dalam penulisan maupun pembahasan
masalah-masalah yang terkait dengan keagamaan.
Setiap bahasa digunakan oleh
orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa Arab
adalah semua orang yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa Arab. Sebagai
salah satu bahasa besar dunia, masyarakat bahasa Arab menyebar luas di dua
benua, Asia dan Afrika. Selain itu, bahasa
Arab juga digunakan sebagai bahasa resmi di sekitar 22 negara yang total
populasi pemakainya mencapai kurang lebih 120 juta orang. Anggota masyarakat
suatu bahasa—termasuk juga bahasa Arab—biasanya beragam. Apakah itu dari segi
status sosial, atau pun latar belakang budaya yang tidak sama.
Bahasa Arab dilihat dari
ragamnya dapat dibedakan ke dalam dua macam bentuk, yaitu:
Pertama,
bahasa Arab fusha (ragam
standar). Menurut Emil Badi' Ya'qub, bahasa Arab fusha adalah bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an,
situasi-situasi resmi, penggubahan puisi, penulisan prosa dan juga
ungkapan-ungkapan pemikiran (tulisan-tulisan ilmiah). Secara umum bahasa ini
dapat diklasifikasikan dalam dua tingkatan, yaitu Bahasa Arab Klasik (Classical Arabic) yang digunakan dalam
bahasa al-Qur'an dan Bahasa Arab Standar Modern (Modern Standard Arabic) yang digunakan dalam bahasa ilmiah.
Kedua,
bahasa Arab amiyah (ragam
non-standar). Menurut Emil Badi' Ya'qub, bahasa amiyah atau yang sering dikenal dengan al-Lahjah adalah bahasa yang digunakan
dalam urusan-urusan biasa (tidak resmi), dan yang diterapkan dalam keseharian.
Bahasa ini tidak lain adalah bahasa yang digunakan dalam percakapan
sehari-hari. Namun, pada kenyataannya bahasa Arab amiyah pun telah merambah dan digunakan dalam bahasa-bahasa
sastra seperti penggubahan puisi dan penulisan prosa, terlebih setelah
terbentuknya negara-negara Arab merdeka.
Berdasarkan
tempatnya (dialek geografi),
bahasa Arab dibedakan ke dalam dialek Libanon, Iraq, Syiria, Algeria, Maroko,
Libya, Sudan, Saudi Arabia, Palestina, dan Mesir. Lebih dari itu, setiap dialek
tersebut ternyata memiliki sejumlah sub-subdialek yang beragam pula. Dialek
Mesir memiliki dua bentuk dialek yang berbeda, yaitu dialek Mesir bagian
Bawah/Hilir (Lower Egyptian) dan
dialek Mesir bagian Atas/Hulu (Upper
Egyptian).
Dari
beragam dialek bahasa Arab tersebut memang terdapat perbedaan satu sama lain
sehingga dimungkinkan mereka saling tidak memahami. Sebagai contoh antara
bahasa Arab dialek Mesir (bAdM) dengan bahasa Arab dialek Syria (bAdS). Dalam
bAdM, kalimat “Apa yang sedang kamu lakukan?” diungkapkan dengan: “biti’mel eh?”. Adapun di Syiria
diungkapkan dengan: “shu’am-t’saawi”.
Catatan bahwa hampir semua kata-kata penyusun dari kalimat tersebut jauh
berbeda, yaitu: kata kerja “mengerjakan” dalam bAdM “yi’mel” sedangkan dalam bAdS “yisaawi”, kata tanya “apa” dalam bAdM “eh” sedangkan dalam bAdM “shu”, konstruksi bentuk simple
continuous tense “sedang” dalam bAdM mendapatkan awalan “bi” sedangkan dalam bAdS mendapat awalan
“’am”, dan perbedaan yang
terakhir posisi kata tanya “apa” dalam bAdM diletakkan di belakang sedangkan
dalam bAdS diletakkan di depan. Begitu juga penggunaan kata “apa” dan “ini”.
Dalam bAdM penggunaan kedua kata tersebut cenderung diletakkan di belakang,
sedangkan dalam bAdS sebaliknya. Sehingga ketika ingin megungkapkan: “Apa yang
kamu inginkan?”, orang Mesir akan mengatakan: “’ayiz eh?”, sedangkan orang Syria akan mengatakan: “shu bidak?”. Begitu pula ketika
ingin mengungkapkan: “Ini buku”, orang Mesir mengatakan: ‘el-kitaab da”, sedangkan orang
Syria akan mengatakan: “hal-kitab”.
Walaupun memang ada yang mengatakan bahwa kedua bahasa dialek tersebut memiliki
kesamaan dalam sintaksisnya, akan tetapi dengan adanya perbedaan kosakata yang
digunakan menjadikan mereka tidak saling faham. Hal inilah yang menjadikan
salah satu sebab munculnya
kontroversi di kalangan masyarakat Arab sendiri tentang penggunaan bahasa ‘amiyyah itu sendiri. Di antara mereka
ada yang sepakat dan ada pula yang tidak sepakat digunakannya bahasa ini.
Mereka yang sepakat sebagian besar berpendapat bahwa bahasa Arab fusha adalah bahasa Arab yang paling
tinggi tingkatannya. Bahasa ini bahasa yang persatuan negeri Arab atau antar
kaum muslimin di dunia ini. Adapun mereka yang sepakat dengan digunakannya
bahasa Arab ‘amiyyah seperti
digunakannya bahasa tersebut sebagai bahasa resmi negara, karena bahasa Arab
akan mengalami stagnasi jika hanya bahasa fusha
yang berlaku.
Menurut
Wafy bahasa ‘amiyyah yang menjauh
dari bahasa Arab fusha baik itu
di Irak, Syam, Hijaz, Yaman, Mesir, dan Maroko, sebenarnya hanya perbedaan
kecil saja yaitu dalam sistem pembentukan kalimat, perubahan pembentukan,
kaidah-kaidah isytiqaq
(derivasi), jamak, ta’nits, sifat, nisbah, dan tashghir.
Hubungan
antara bahasa Arab ‘amiyyah
dengan bahasa Arab fusha
seharusnya dapat dijelaskan secara gamblang. Dalam beberapa bahasa terdapat
tingkatan kultur pemakaian dan macam fungsi. Agar penggunaan bahasa Arab lebih
efektif maka salah satu caranya adalah kita harus tahu tentang tingkatan dan
fungsi tersebut. Lebih dari itu, bahasa Arab selalu berubah pada setiap abad.
Oleh karena itu, secara garis besar kita mungkin dapat membedakannya sebagai
berikut:
1.
Bahasa
Arab Klasik atau Bahasa Arab Al-Qur’an lebih mengaju secara spesifik pada
grammar dan penggunaan Al-Qur’an hingga sampai pada masa kekhalifahan.
2.
Bahasa
Arab formal kontemporer lebih mengacu secara spesifik pada grammar bahasa Arab
dan penggunaannya pada abad ke-20. Termasuk dalam kategori ini, kita mungkin
saja menekankan penulisan bahasa Arab secara formal sekalipun terkadang
menimbulkan sebuah kesalahan besar dengan mengabaikan penulisan secara informal
atau spoken Arabic.
Bahasa Arab ‘amiyyah atau Spoken
Arabic mengacu pada bentuk bahasa Arab yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari. Perlu dicatat, bahwa bagaimanapun juga orang-orang Arab
yang tak berpendidikan jarang sekali menggunakan bahasa formal dan klasik dalam
percakapan mereka.
8. Perbedaan Sosiolinguistik
dan Sosiologi Bahasa
Sosiolinguistik dan sosiologi bahasa
adalah dua kajian yang hampir sama kerena keduanya membutuhkan bantuan
pengetahuan bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji bahasa yang
berkaitan dengan struktur sosial dan fungsi-fungsinya di dalam masyarakat.
Sebaliknya, sosiologi bahasa mengkaji masyarakat (struktur sosial melalui
bahasa yang dimilikinya. Menurut Hudson, sosiolinguistik adalah studi tentang
bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat, sedangkan sosiologi bahasa adalah
studi tentang masyarakat dalam hubungannya dengan bahasa.
Langganan:
Postingan (Atom)