Sebagian dari kita, tak menyadari dahsyatnya modal sosial sebagai salah satu unsur pengungkit kesuksesan dalam bisnis maupun kehidupan. Begitu pun sebaliknya.
Bila kita sadari nilai dari modal sosial itu, boleh jadi kita tak perlu pesimistis untuk menghadapi kondisi apapun. Kita perlu melihat ke dalam diri dan organisasi dan bertanya,''Sumberdaya dan kapabilitas apa yang bisa kita jadikan daya ungkit untuk terus bergerak agar meraih sasaran yang sudah ditetapkan?''
Saya teringat pada seorang pengusaha mebel akhir dekade 90-an, Bu Sylvi. Saat sebagian pengusaha lain berhenti beraktivitas dan terpaksa mengurangi karyawan lantaran krisis dan menutup diri, Bu Sylvi justru rajin mendatangi pelanggan-pelanggan lamanya.
Ia rajin menawarkan jasa baru, perawatan mebel jati ukir, yang memang perlu keterampilan perawatan khusus. Saat order produksi seret dan utang menumpuk, ia berani keluar dan melayani segmen khusus dan mampu bertahan dari krisis ekonomi kala ini.
Meski dengan berat hati, ia pun bersepakat dengan para karyawannya untuk bergiliran mengatur jam kerja. Alhasil, krisis tak membuatnya harus melakukan PHK kepada karyawannya.
Ia pun bahkan mendatangi krediturnya untuk mengajukan penjadwalan utang, sebelum didatangi krediturnya. Itulah sikap proaktif.
Sikap dan perilaku Bu Sylvi itu menunjukan sikap dan mental pengusaha sejati. Saat yang lain tiarap, ia terus bergaul dan bergerak. Ia yakin, kesulitan dan masalah membuatnya makin terlatih mengelola bisnis.
Saat yang lain meminta diskon kewajiban akibat krisis, ia justru mendatangi perbankan dengan proposal penjadwalan utang. Tujuannya jelas agar semua bisa tetap berjalan.
Para ahli manajemen pengetahuan menyebut sikap Bu Silvi ini sebagai aktualisasi dari modal intelektual. Dalam skala perusahan yang besar, ukuran modal intelektual besar ditandai dengan besarnya Market to Book Value (MBV).
Sebagai contoh, pada 2000 itu nilai MBV Microsoft adalah 19.8. Bahkan, brand value perusahan yang didirikan Bill Gates ini bernilai 59,541 juta dolar AS, jauh di atas brand value produsen mobil mewah Mercedes-Benz sebesar 20.006 juta dolar AS. Data itu saya lansir berdasarkan laporan Fortune (2005).
Dua contoh yang tak sebanding, namun memiliki benang merah yang sama, yakni kekuatan modal intelektual! Ini sebenarnya juga berlaku untuk perusahan kecil, menengah atau besar sekalipun.
Menurut Leif Edvinsson (2006), modal intelektual ini dibangun oleh tiga unsur, yakni modal manusia, modal struktural, dan modal relasional.
Modal manusia berbasis pada "the right man or women on bus", budaya perusahaan, dan keterlibatan karyawan berkontribusi pada nilai organisasi baik jangka pendek mau jangka panjang. Bu Silvi berusaha mempertahankan talenta-talenta terbaiknya. Program HRD dan sistem dibangun untuk menumbuhkan employee engagement, ownership terhadap perusahaan.
Modal struktural biasanya terdiri atas paten, hak kekayaaan intelektual, copyright, dan hal-hal yang menjadi proprietary right lainnya. Dengan modal struktural ini, kemampuan kita meningkatkan nilai perusahaan pada masa depan sangat menentukan.
Belakangan ini, kesadaran hal ini makin kuat, dengan banyaknya pendaftaran hak kekayaan intelektual di Kementrian Hukum dan HAM RI.
Lantas unsur pembentuk modal intelektual ketiga adalah modal relasional, modal yang berbasis pada modal sosial dan relasional lainnya. Hubungan dengan bankers atau kreditor, pelanggan, suppliers, mitra bisnis dan semua pemangku kepentingan bisnis lainnya adalah hubungan relasional lantaran kita ingin tumbuh dan menjalani kemitraan panjang.
Memasuki pertengahan tahun 2015 ini, saat ekonomi melambat, ada baiknya kita melihat ke dalam. Tengoklah, sejauh mana kita telah mengoptimalkan modal intelektual kita, bila kita yakin model bisnis masih relevan untuk target pasar kita.
Selamat menikmati dahsyatnya kekuatan modal intelektual Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar