Mencermati situasi akhir-akhir ini, mengusik kenyamanan saya.
Bukan hanya terkait berita debat soal korupsi, “pertengkaran” antara
Hotman dan Ruhut, “sengketa” Jupe dan DP, rencana kenaikan harga BBM dan
terhangat soal pilgub DKI, tapi juga sempat terusik oleh “debat” di
Kompasiana.
Makin banyak orang-orang berpendidikan saling mencela. Menuding satu terhadap lainnya sebagai “orang tak berpendidikan”.
Sempat berandai-andai, “bagaimana ya rasanya bila saya disebut “tidak berpendidikan”?
Saya
pejamkan mata, membayangkan diri sedang berdebat yang makin lama makin
panas. Lawan debat saya berdiri, menunjuk muka saya dan berkata “ kamu
seperti orang tak berpendidikan saja!”
Oh, my God! Ternyata, saya tersinggung, meski bisa berpura-pura tidak tersinggung. Sungguh tak nyaman.
Saya
mengadakan “pencarian”. Mencari tahu mengapa saya marah ketika ada yang
berani menyebut saya “tak berpendidikan”? Saya tidak terima disebut
demikian. Sebab, saya berijazah dan bergelar.
Akhirnya, ketemu juga jawabnya.
Ternyata,
ketika orang berani menyebut saya “tidak berpendidikan”, sebenarnya
yang ingin mereka katakan adalah “perilaku saya tidak menunjukkan
perilaku orang yang pernah belajar tentang pendidikan”.
Tutur kata, bicara,
tingkah dan perilaku saya, pasti tidaklah indah. Saya pasti sudah jauh
dari tata krama, jauh dari kesantunan, jauh dari mengerti tentang
bagaimana hidup dan kehidupan seharusnya berjalan. Saya pasti sudah mengabaikan keluhuran budi pekerti. Ternyata, untuk menyebut “tidak berpendidikan”, mereka tidak memerlukan ijazah dan gelar saya.
Selama ini saya telah jauh keliru. Mengira bahwa pendidikan adalah soal ijazah dan gelar.
Saya terlalu sempit memaknai apa itu pendidikan. Pantas saya marah jika
saya disebut sebagai tidak berpendidikan, sementara saya mengantongi
banyak ijazah dan gelar.
Dalam “pencarian”, saya menemukan pelajaran menarik tentang pendidikan dan orang-orang terdidik/terpelajar.
Ternyata, pendidikan itu, BUKAN tentang sertifikat, ijazah atau gelar.
Pendidikan adalah tentang bagaimana seseorang berkehidupan. Pendidikan
bukan indoktrinasi, sebatas memberitahukan “Ini loh (gagasanku) yang
(paling) benar!” .
Pendidikan adalah membuka mind/pikiran, menstimulasi, membangkitkan, mendukung pencarian kebenaran. Pendidikan adalah mengembangkan pikiran dengan memperhatikan ragam gagasan (diri/orang lain). Pendidikan itu, menghargai perbedaan pandang.
Education is about learning, not teaching.
Pendidikan adalah tentang pembelajaran, BUKAN pengajaran. Jika
pendidikan adalah pembelajaran, maka itu adalah proses yang berkembang.
Education should produce (well) Educated people.
Dengan demikian,
pendidikan (baik formal maupun non formal) mestinya melahirkan
orang-orang terdidik/terpelajar. Pendidikan bisa berlangsung di dalam
atau di luar gedung sekolah/kampus.
Sekarang saya mengerti mengapa para Professor itu selalu menekankan kata “terpelajar”, dalam setiap sidang (Ujian) Terbuka calon doktor.
Dalam Sidang, sebelum bertanya, para Professor selalu mengucapkan “Saudara Promovendus/Promovenda yang “terpelajar”, bukan “Saudara Promovendus/Promovenda yang berpendidikan.”
Saya menangkap bahwa itu adalah “warning” para guru besar terhadap keadaan di luar institusi, di dalam University of Life. Sehingga, kepada sang promovendus/a, tak bosan-bosan selalu diucap kalimat, “Saudara Promovendus/Promovenda yang terpelajar”.
Tony McGregor menginspirasi tulisan ini. Ia mengutip pendapat beberapa filsuf bahwa, seorang yang terpelajar, bekerja keras meningkatkan, baik kualitas dirinya sebagai pribadi, maupun kualiatas dirinya sebagai warga Negara.
Yang terpelajar, ia
tidak mudah menerima sesuatu, begitu saja. Ia berakal budi, peduli
terhadap sekitarnya dan berpandangan jauh ke depan.
Yang terpelajar,
selalu sadar bahwa tindakan yang dilakukan hari ini, dapat berdampak
kepada orang lain/lingkungan, bukan hanya saat ini, tapi juga pada
generasi berikutnya.
Yang terpelajar, ia bertindak dalam cara-cara mulia dalam membesarkan dirinya dan masyarakat. Bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa akan datang. Bukan
hanya memikirkan (kepentingan) satu, dua atau lima generasi berikutnya,
namun lebih dari itu, ia juga memikirkan (kepentingan) ratusan, ribuan
dan bahkan puluhan ribu generasi mendatang. ( Hhmm…Jadi ingat tambang-tambang yang terbang melayang…)
Yang terpelajar, memiliki kesejatian empati, penuh perhatian, mengerti orang lain, dan mampu menghargai.
Yang
terpelajar, ia sangat paham bahwa nilai-nilai yang dianutnya,
keinginannya dan kegemarannya tidak bisa dipaksakan kepada orang lain.
Ia bertindak berdasarkan kearifan lokal, meskipun berpola pikir global.
Siapapun yang bersedia mengembangkan kualitas dirinya, memiliki karakter seperti tersebut di atas, pasti dipersepsi, dihargai, dikenal dan dikenang sebagai orang terpelajar. Meskipun ia tidak bergelar.
Rasanya, masih banyak
PR saya. Sebab, bila sampai disebut “tak berpendidikan” (maksudnya,
tidak terpelajar), sejumlah ijazah dan gelar yang saya punya, tak mampu
menolong saya.
Hhmm..bagaimana dengan Anda?
Salam bahagia dan terus berkarya!
Refered to :
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/24/yang-bergelar-belum-tentu-terpelajar-444658.html
Yang Bergelar Belum Tentu Terpelajar
HL | 24 March 2012 | 18:23 Dibaca: 1530 Komentar: 111 6
Mencermati situasi akhir-akhir ini, mengusik kenyamanan saya.
Bukan hanya terkait berita debat soal korupsi, “pertengkaran” antara
Hotman dan Ruhut, “sengketa” Jupe dan DP, rencana kenaikan harga BBM dan
terhangat soal pilgub DKI, tapi juga sempat terusik oleh “debat” di
Kompasiana.
Makin banyak orang-orang berpendidikan saling mencela. Menuding satu terhadap lainnya sebagai “orang tak berpendidikan”.
Sempat berandai-andai, “bagaimana ya rasanya bila saya disebut “tidak berpendidikan”?
Saya
pejamkan mata, membayangkan diri sedang berdebat yang makin lama makin
panas. Lawan debat saya berdiri, menunjuk muka saya dan berkata “ kamu
seperti orang tak berpendidikan saja!”
Oh, my God! Ternyata, saya tersinggung, meski bisa berpura-pura tidak tersinggung. Sungguh tak nyaman.
Saya
mengadakan “pencarian”. Mencari tahu mengapa saya marah ketika ada yang
berani menyebut saya “tak berpendidikan”? Saya tidak terima disebut
demikian. Sebab, saya berijazah dan bergelar.
Akhirnya, ketemu juga jawabnya.
Ternyata,
ketika orang berani menyebut saya “tidak berpendidikan”, sebenarnya
yang ingin mereka katakan adalah “perilaku saya tidak menunjukkan
perilaku orang yang pernah belajar tentang pendidikan”.
Tutur kata, bicara,
tingkah dan perilaku saya, pasti tidaklah indah. Saya pasti sudah jauh
dari tata krama, jauh dari kesantunan, jauh dari mengerti tentang
bagaimana hidup dan kehidupan seharusnya berjalan. Saya pasti sudah mengabaikan keluhuran budi pekerti. Ternyata, untuk menyebut “tidak berpendidikan”, mereka tidak memerlukan ijazah dan gelar saya.
Selama ini saya telah jauh keliru. Mengira bahwa pendidikan adalah soal ijazah dan gelar.
Saya terlalu sempit memaknai apa itu pendidikan. Pantas saya marah jika
saya disebut sebagai tidak berpendidikan, sementara saya mengantongi
banyak ijazah dan gelar.
Dalam “pencarian”, saya menemukan pelajaran menarik tentang pendidikan dan orang-orang terdidik/terpelajar.
Ternyata, pendidikan itu, BUKAN tentang sertifikat, ijazah atau gelar.
Pendidikan adalah tentang bagaimana seseorang berkehidupan. Pendidikan
bukan indoktrinasi, sebatas memberitahukan “Ini loh (gagasanku) yang
(paling) benar!” .
Pendidikan adalah membuka mind/pikiran, menstimulasi, membangkitkan, mendukung pencarian kebenaran. Pendidikan adalah mengembangkan pikiran dengan memperhatikan ragam gagasan (diri/orang lain). Pendidikan itu, menghargai perbedaan pandang.
Education is about learning, not teaching.
Pendidikan adalah tentang pembelajaran, BUKAN pengajaran. Jika
pendidikan adalah pembelajaran, maka itu adalah proses yang berkembang.
Education should produce (well) Educated people.
Dengan demikian,
pendidikan (baik formal maupun non formal) mestinya melahirkan
orang-orang terdidik/terpelajar. Pendidikan bisa berlangsung di dalam
atau di luar gedung sekolah/kampus.
Sekarang saya mengerti mengapa para Professor itu selalu menekankan kata “terpelajar”, dalam setiap sidang (Ujian) Terbuka calon doktor.
Dalam Sidang, sebelum bertanya, para Professor selalu mengucapkan “Saudara Promovendus/Promovenda yang “terpelajar”, bukan “Saudara Promovendus/Promovenda yang berpendidikan.”
Saya menangkap bahwa itu adalah “warning” para guru besar terhadap keadaan di luar institusi, di dalam University of Life. Sehingga, kepada sang promovendus/a, tak bosan-bosan selalu diucap kalimat, “Saudara Promovendus/Promovenda yang terpelajar”.
Tony McGregor menginspirasi tulisan ini. Ia mengutip pendapat beberapa filsuf bahwa, seorang yang terpelajar, bekerja keras meningkatkan, baik kualitas dirinya sebagai pribadi, maupun kualiatas dirinya sebagai warga Negara.
Yang terpelajar, ia
tidak mudah menerima sesuatu, begitu saja. Ia berakal budi, peduli
terhadap sekitarnya dan berpandangan jauh ke depan.
Yang terpelajar,
selalu sadar bahwa tindakan yang dilakukan hari ini, dapat berdampak
kepada orang lain/lingkungan, bukan hanya saat ini, tapi juga pada
generasi berikutnya.
Yang terpelajar, ia bertindak dalam cara-cara mulia dalam membesarkan dirinya dan masyarakat. Bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa akan datang. Bukan
hanya memikirkan (kepentingan) satu, dua atau lima generasi berikutnya,
namun lebih dari itu, ia juga memikirkan (kepentingan) ratusan, ribuan
dan bahkan puluhan ribu generasi mendatang. ( Hhmm…Jadi ingat tambang-tambang yang terbang melayang…)
Yang terpelajar, memiliki kesejatian empati, penuh perhatian, mengerti orang lain, dan mampu menghargai.
Yang
terpelajar, ia sangat paham bahwa nilai-nilai yang dianutnya,
keinginannya dan kegemarannya tidak bisa dipaksakan kepada orang lain.
Ia bertindak berdasarkan kearifan lokal, meskipun berpola pikir global.
Siapapun yang bersedia mengembangkan kualitas dirinya, memiliki karakter seperti tersebut di atas, pasti dipersepsi, dihargai, dikenal dan dikenang sebagai orang terpelajar. Meskipun ia tidak bergelar.
Rasanya, masih banyak
PR saya. Sebab, bila sampai disebut “tak berpendidikan” (maksudnya,
tidak terpelajar), sejumlah ijazah dan gelar yang saya punya, tak mampu
menolong saya.
Hhmm..bagaimana dengan Anda?
Salam bahagia dan terus berkarya!
Refered to :
sangat bermanfaat. terima kasih, ini bisa menjadi refleksi diri saya
BalasHapus