Selasa, 07 April 2015

Penjelasan Pekerjaan Clerk

Jadi, Apa yang Seharusnya Saya Lakukan?

Clerk dikenal dengan banyak nama, Pekerja sebagai clerk atau assistant clerk adalah beberapa dari itu. Apapun jabatan Anda, peranan Anda akan lebih atau tidak sama dan Anda akan membantu tugas-tugas administrasi routin manager dengan sebuah organisasi atau depratment.
Kabanyakan peranan clerk akan terlibat beberapa pekerjaan berikut:
  • Filing
  • Pekerjaan-pekerjaan seperti mengungpulkan informasi dengan telepon, surat, email atau pada orang.
  • Mencari pekerjaan manager Anda
  • Merekam dan memperbaruhi databes
  • Photocopy dan menscan dokument
  • Menyortir dan menangani surat keluar
  • Membantu penyambutan.
Meskipun selalu ada beberapa tugas berartu Anda haru menyelesaikan setiap hari, pekerjaan-pekerjaan adminsitrasi akan membantu Anda untuk menyelesaikan pekerjaan yang monoton dan harus di tambah beberapa hal yang menarik pada pekerjaan Anda yang sangat berbeda.

Sumber:
http://www.totaljobs.com/careers-advice/job-profile/admin-jobs/clerk-job-description
(Dialih bahasakan kebahasa Indonesia)

Minggu, 05 April 2015

Terdidik Vs Tidak Terdidik

Oleh Amin Rais Iskandar
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UIN Sunan Gunung Djati
Adakah beda antara orang terdidik dengan yang tidak terdidik? Jawabannya ada. Jangankan di mata manusia, di mata Tuhan sekalipun jelas ada bedanya. Firman Tuhan dalam surat al-Mujadalah (11) menjanjikan peninggian derajat orang berilmu beberapa derajat. Bahkan derajatnya satu tingkat di bawah orang beriman. Jelas ini merupakan tanda perbedaan manusia di mata Tuhan.
Pendidikan dapat mengarahkan manusia pada sikap arif, bijak, berpikir luas, futuristik, kritis dan tidak arogan. Generasi bangsa demikianlah yang dibutuhkan keberadaanya. Bukan yang sebaliknya. Untuk mengisi dan memperjuangkan perkembangan Negara. Pencetakan generasi ideal termaksud, bukan barang mudah dan dalam waktu singkat. Tapi selain menuntut waktu yang lama juga membutuhkan ongkos tidak murah.
Perintah menuntut ilmu semenjak lahir hingga masuk liang lahat, adalah simbol bahwa ilmu melimpah ruah dan tidak ada habis-habisnya. Muhammad Saw. sendiri memberikan enam syarat yang perlu dipenuhi selama menuntut ilmu; cerdas, rakus (akan ilmu), harta, sungguh-sungguh, berinteraksi dengan guru (orang tua, alam, diri sendiri, dll), dan waktu yang panjang.
Permasalahan yang dihadapi–dalam kondisi krisis ekonomi–adalah harta. Biaya pendidikan yang mahal menjadi pematah semangat dan kerakusan (akan ilmu) yang dimiliki anak kurang mampu. Akhirnya talenta terpendam dan kecerdasan yang dimilikinya terbuang sia-sia. Berinteraksi dengan guru pun tak akan tercapai hingga jangka waktu panjang.
Yang ditunggu tentu saja solusi; uluran tangan pe-murah hati untuk membantu lahirnya generasi (ideal) bangsa. Lihat saja berapa banyak anak bertarung sendiri di jalanan. Mereka butuh subsidi untuk memenuhi hak mereka mendapatkan pendidikan. Atau, akan dibiarkan itu menjadi cerminan “wajah” pendidikan bangsa ini? Tentu bukan itu yang diharapkan.
Jika terus di biarkan, generasi muda bermentalkan jalanan perlahan akan tumbuh dan bertebaran mengisi bangsa ini. Jika memang bangsa ini mengakui adanya hari anak sedunia, mana bentuk peringatan (perayaan) hari anak sedunia?.***

Sumber: 
https://ruangsastra.wordpress.com/2008/07/23/terdidik-vs-tidak-terdidik/
 

Ciri Orang yang Terdidik

Pantaskah seseorang yang memiki ilmu tinggi/banyak pengetahuan itu menyombongkan diri? Tentu saja tidak. Biar bagaimanapun manusia itu sama di sisi sang pencipta, tidak ada perbedaan. Namun kita tidak menyadarinya ketika pengetahuan orang tua kita lebih sedikit dari kita, kita seakan-akan merasa orang yang paling benar ketika ada perbedabatan dengan orang tua. Ini masalah dengan orang tua, tapi bagaimana dengan seorang teman?

Haruskah kita meremehkan mereka saat sedang berbicara mengenai suatu topik pembicaraan yang tidak mereka kuasai betul? Sebagai manusia yang berakal hendaknya kita menghargai pendapat dan kemampuan mereka walaupun apa yang mereka katakan itu kurang tepat, kita harus menghargai dan berusaha untuk memperbaiki dengan cara yang halus agar tidak menyinggung perasaan mereka. Siapapun pasti marah jika pendapat yang kita lontarkan tidak dihargai atau ditertawakan.

Kembali ke orang tua, ketika basic pendidikan orang tua kita lebih rendah dari kita. Misalnya salah satu orang tua kita hanya tamat SMP sedangkan kita adalah seorang mahasiswa. Sebagai orang yang terdidik kita harus menghormati dan menjaga perasaan orang tua kita. Mereka lah yang merawat kita dan memberikan kasih sayang yang tulus hingga kita seperti ini. Tanpa mereka kita tak mungkin bisa bertahan hidup. Jadi intinya, kita harus mensyukuri segala sesuatu yang diberikan kepada kita dan berusaha untuk tidak menyombongkan diri dengan yang kita miliki karena semua itu hanyalah titipan dari sang Tuhan.

Semoga kita, khususnya Saya sendiri termasuk orang yang bersyukur dan bukan orang yang senang menyombongkan diri dengan segala kelebihan yang diberikan kepada kita.


Sumber:
http://tatastreet.blogspot.com/2010/05/ciri-orang-yang-terdidik.html

Yang Bergelar Belum Tentu Terpelajar


Mencermati situasi akhir-akhir ini, mengusik kenyamanan saya. Bukan hanya terkait berita debat soal korupsi, “pertengkaran” antara Hotman dan Ruhut, “sengketa” Jupe dan DP, rencana kenaikan harga BBM dan terhangat soal pilgub DKI, tapi juga sempat terusik oleh “debat” di Kompasiana.
Makin banyak orang-orang berpendidikan saling mencela. Menuding satu terhadap lainnya sebagai “orang tak berpendidikan”.
Sempat berandai-andai, “bagaimana ya rasanya bila saya disebut “tidak berpendidikan”?
Saya pejamkan mata, membayangkan diri sedang berdebat yang makin lama makin panas. Lawan debat saya berdiri, menunjuk muka saya dan berkata “ kamu seperti orang tak berpendidikan saja!”
Oh, my God! Ternyata, saya tersinggung, meski bisa berpura-pura tidak tersinggung. Sungguh tak nyaman.
Saya mengadakan “pencarian”. Mencari tahu mengapa saya marah ketika ada yang berani menyebut saya “tak berpendidikan”? Saya tidak terima disebut demikian. Sebab, saya berijazah dan bergelar.
Akhirnya, ketemu juga jawabnya.
Ternyata, ketika orang berani menyebut saya “tidak berpendidikan”, sebenarnya yang ingin mereka katakan adalah “perilaku saya tidak menunjukkan perilaku orang yang pernah belajar tentang pendidikan”.
Tutur kata, bicara, tingkah dan perilaku saya, pasti tidaklah indah. Saya pasti sudah jauh dari tata krama, jauh dari kesantunan, jauh dari mengerti tentang bagaimana hidup dan kehidupan seharusnya berjalan. Saya pasti sudah mengabaikan keluhuran budi pekerti. Ternyata, untuk menyebut “tidak berpendidikan”, mereka tidak memerlukan ijazah dan gelar saya.
Selama ini saya telah jauh keliru. Mengira bahwa pendidikan adalah soal ijazah dan gelar. Saya terlalu sempit memaknai apa itu pendidikan. Pantas saya marah jika saya disebut sebagai tidak berpendidikan, sementara saya mengantongi banyak ijazah dan gelar.
Dalam “pencarian”, saya menemukan pelajaran menarik tentang pendidikan dan orang-orang terdidik/terpelajar.
Ternyata, pendidikan itu, BUKAN tentang sertifikat, ijazah atau gelar. Pendidikan adalah tentang bagaimana seseorang berkehidupan. Pendidikan bukan indoktrinasi, sebatas memberitahukan “Ini loh (gagasanku) yang (paling) benar!” .
Pendidikan adalah membuka mind/pikiran, menstimulasi, membangkitkan, mendukung pencarian kebenaran. Pendidikan adalah mengembangkan pikiran dengan memperhatikan ragam gagasan (diri/orang lain). Pendidikan itu, menghargai perbedaan pandang.
Education is about learning, not teaching. Pendidikan adalah tentang pembelajaran, BUKAN pengajaran. Jika pendidikan adalah pembelajaran, maka itu adalah proses yang berkembang.
Education should produce (well) Educated people.
Dengan demikian, pendidikan (baik formal maupun non formal) mestinya melahirkan orang-orang terdidik/terpelajar. Pendidikan bisa berlangsung di dalam atau di luar gedung sekolah/kampus.
Sekarang saya mengerti mengapa para Professor itu selalu menekankan kata “terpelajar”, dalam setiap sidang (Ujian) Terbuka calon doktor.
Dalam Sidang, sebelum bertanya, para Professor selalu mengucapkan “Saudara Promovendus/Promovenda yang “terpelajar”, bukan “Saudara Promovendus/Promovenda yang berpendidikan.”
Saya menangkap bahwa itu adalah “warning” para guru besar terhadap keadaan di luar institusi, di dalam University of Life. Sehingga, kepada sang promovendus/a, tak bosan-bosan selalu diucap kalimat, “Saudara Promovendus/Promovenda yang terpelajar”.
Tony McGregor menginspirasi tulisan ini. Ia mengutip pendapat beberapa filsuf bahwa, seorang yang terpelajar, bekerja keras meningkatkan, baik kualitas dirinya sebagai pribadi, maupun kualiatas dirinya sebagai warga Negara.
Yang terpelajar, ia tidak mudah menerima sesuatu, begitu saja. Ia berakal budi, peduli terhadap sekitarnya dan berpandangan jauh ke depan.
Yang terpelajar, selalu sadar bahwa tindakan yang dilakukan hari ini, dapat berdampak kepada orang lain/lingkungan, bukan hanya saat ini, tapi juga pada generasi berikutnya.
Yang terpelajar, ia bertindak dalam cara-cara mulia dalam membesarkan dirinya dan masyarakat. Bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa akan datang. Bukan hanya memikirkan (kepentingan) satu, dua atau lima generasi berikutnya, namun lebih dari itu, ia juga memikirkan (kepentingan) ratusan, ribuan dan bahkan puluhan ribu generasi mendatang. ( Hhmm…Jadi ingat tambang-tambang yang terbang melayang…)
Yang terpelajar, memiliki kesejatian empati, penuh perhatian, mengerti orang lain, dan mampu menghargai.
Yang terpelajar, ia sangat paham bahwa nilai-nilai yang dianutnya, keinginannya dan kegemarannya tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Ia bertindak berdasarkan kearifan lokal, meskipun berpola pikir global.
Siapapun yang bersedia mengembangkan kualitas dirinya, memiliki karakter seperti tersebut di atas, pasti dipersepsi, dihargai, dikenal dan dikenang sebagai orang terpelajar. Meskipun ia tidak bergelar.
Rasanya, masih banyak PR saya. Sebab, bila sampai disebut “tak berpendidikan” (maksudnya, tidak terpelajar), sejumlah ijazah dan gelar yang saya punya, tak mampu menolong saya.
Hhmm..bagaimana dengan Anda?
Salam bahagia dan terus berkarya!
Refered to :
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/24/yang-bergelar-belum-tentu-terpelajar-444658.html
 

Yang Bergelar Belum Tentu Terpelajar

HL | 24 March 2012 | 18:23 Dibaca: 1530   Komentar: 111   6
1332600363474755576
admin/ilustrasi (shutterstock)
Mencermati situasi akhir-akhir ini, mengusik kenyamanan saya. Bukan hanya terkait berita debat soal korupsi, “pertengkaran” antara Hotman dan Ruhut, “sengketa” Jupe dan DP, rencana kenaikan harga BBM dan terhangat soal pilgub DKI, tapi juga sempat terusik oleh “debat” di Kompasiana.
Makin banyak orang-orang berpendidikan saling mencela. Menuding satu terhadap lainnya sebagai “orang tak berpendidikan”.
Sempat berandai-andai, “bagaimana ya rasanya bila saya disebut “tidak berpendidikan”?
Saya pejamkan mata, membayangkan diri sedang berdebat yang makin lama makin panas. Lawan debat saya berdiri, menunjuk muka saya dan berkata “ kamu seperti orang tak berpendidikan saja!”
Oh, my God! Ternyata, saya tersinggung, meski bisa berpura-pura tidak tersinggung. Sungguh tak nyaman.
Saya mengadakan “pencarian”. Mencari tahu mengapa saya marah ketika ada yang berani menyebut saya “tak berpendidikan”? Saya tidak terima disebut demikian. Sebab, saya berijazah dan bergelar.
Akhirnya, ketemu juga jawabnya.
Ternyata, ketika orang berani menyebut saya “tidak berpendidikan”, sebenarnya yang ingin mereka katakan adalah “perilaku saya tidak menunjukkan perilaku orang yang pernah belajar tentang pendidikan”.
Tutur kata, bicara, tingkah dan perilaku saya, pasti tidaklah indah. Saya pasti sudah jauh dari tata krama, jauh dari kesantunan, jauh dari mengerti tentang bagaimana hidup dan kehidupan seharusnya berjalan. Saya pasti sudah mengabaikan keluhuran budi pekerti. Ternyata, untuk menyebut “tidak berpendidikan”, mereka tidak memerlukan ijazah dan gelar saya.
Selama ini saya telah jauh keliru. Mengira bahwa pendidikan adalah soal ijazah dan gelar. Saya terlalu sempit memaknai apa itu pendidikan. Pantas saya marah jika saya disebut sebagai tidak berpendidikan, sementara saya mengantongi banyak ijazah dan gelar.
Dalam “pencarian”, saya menemukan pelajaran menarik tentang pendidikan dan orang-orang terdidik/terpelajar.
Ternyata, pendidikan itu, BUKAN tentang sertifikat, ijazah atau gelar. Pendidikan adalah tentang bagaimana seseorang berkehidupan. Pendidikan bukan indoktrinasi, sebatas memberitahukan “Ini loh (gagasanku) yang (paling) benar!” .
Pendidikan adalah membuka mind/pikiran, menstimulasi, membangkitkan, mendukung pencarian kebenaran. Pendidikan adalah mengembangkan pikiran dengan memperhatikan ragam gagasan (diri/orang lain). Pendidikan itu, menghargai perbedaan pandang.
Education is about learning, not teaching. Pendidikan adalah tentang pembelajaran, BUKAN pengajaran. Jika pendidikan adalah pembelajaran, maka itu adalah proses yang berkembang.
Education should produce (well) Educated people.
Dengan demikian, pendidikan (baik formal maupun non formal) mestinya melahirkan orang-orang terdidik/terpelajar. Pendidikan bisa berlangsung di dalam atau di luar gedung sekolah/kampus.
Sekarang saya mengerti mengapa para Professor itu selalu menekankan kata “terpelajar”, dalam setiap sidang (Ujian) Terbuka calon doktor.
Dalam Sidang, sebelum bertanya, para Professor selalu mengucapkan “Saudara Promovendus/Promovenda yang “terpelajar”, bukan “Saudara Promovendus/Promovenda yang berpendidikan.”
Saya menangkap bahwa itu adalah “warning” para guru besar terhadap keadaan di luar institusi, di dalam University of Life. Sehingga, kepada sang promovendus/a, tak bosan-bosan selalu diucap kalimat, “Saudara Promovendus/Promovenda yang terpelajar”.
Tony McGregor menginspirasi tulisan ini. Ia mengutip pendapat beberapa filsuf bahwa, seorang yang terpelajar, bekerja keras meningkatkan, baik kualitas dirinya sebagai pribadi, maupun kualiatas dirinya sebagai warga Negara.
Yang terpelajar, ia tidak mudah menerima sesuatu, begitu saja. Ia berakal budi, peduli terhadap sekitarnya dan berpandangan jauh ke depan.
Yang terpelajar, selalu sadar bahwa tindakan yang dilakukan hari ini, dapat berdampak kepada orang lain/lingkungan, bukan hanya saat ini, tapi juga pada generasi berikutnya.
Yang terpelajar, ia bertindak dalam cara-cara mulia dalam membesarkan dirinya dan masyarakat. Bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa akan datang. Bukan hanya memikirkan (kepentingan) satu, dua atau lima generasi berikutnya, namun lebih dari itu, ia juga memikirkan (kepentingan) ratusan, ribuan dan bahkan puluhan ribu generasi mendatang. ( Hhmm…Jadi ingat tambang-tambang yang terbang melayang…)
Yang terpelajar, memiliki kesejatian empati, penuh perhatian, mengerti orang lain, dan mampu menghargai.
Yang terpelajar, ia sangat paham bahwa nilai-nilai yang dianutnya, keinginannya dan kegemarannya tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Ia bertindak berdasarkan kearifan lokal, meskipun berpola pikir global.
Siapapun yang bersedia mengembangkan kualitas dirinya, memiliki karakter seperti tersebut di atas, pasti dipersepsi, dihargai, dikenal dan dikenang sebagai orang terpelajar. Meskipun ia tidak bergelar.
Rasanya, masih banyak PR saya. Sebab, bila sampai disebut “tak berpendidikan” (maksudnya, tidak terpelajar), sejumlah ijazah dan gelar yang saya punya, tak mampu menolong saya.
Hhmm..bagaimana dengan Anda?
Salam bahagia dan terus berkarya!
Refered to :