Setelah
Kabilah Jurhum menodai kesucian Kota Makkah dengan melakukan berbagai tindak
kezaliman, sekutu Kabilah Kinanah dan Khuza’ah menyerang dan mengusir mereka
dari tanah kelahiran Nabi Muhammad itu. Sebelum pulang ke negeri asalnya,
Yaman, Jurhum menimbun sumur Zamzam agar jejaknya tidak diketahui oleh siapa
pun.
Bertahun-tahun sejak penimbunan itu, Sumur Zamzam sudah tidak tampak lagi
jejaknya. Betul-betul rata dengan tanah. Belum lagi dinamika geografis dan
berbagai bencana alam yang mempengaruhi konstruk dataran Makkah dalam waktu
yang cukup panjang. Abdul Muthalib merupakan tokoh utama dalam penemuan kembali
Sumur Zamzam. Sebab, dialah orang yang mendapat ilham tantang posisi sumur suci
itu dan menggalinya sendiri bersama anak satu-satunya, Haris. Oleh karena itu,
tidak salah jika penulis singgung sedikit sosok kakek Rasulullah ini dan status
sosialnya di Makkah. Dengan begitu bisa diketahui alasan Allah swt memilihnya
sebagai penemu Zamzam setelah sekian lama hilang.
Semasa hidupnya Abdul Muthalib merupakan sosok yang sangat dihormati
masyarakat. Nama aslinya adalah Syaibatul Hamd. Kata ‘syaibah’ berarti uban.
Saat baru lahir tumbuh rambut putih di kepalanya, sehingga dia dinamai
demikian. Nama Abdul Mthalib sendiri merupakan panggilan dari masyarakat yang
kemudian lebih populer karena mulanya dikira dia adalah budak dari Muthalib,
sang paman. Abdul Mutahalib sendiri berasal dari Yatsrib (nama sebelum
Madinah). Begitu ayahnya, Hasyim, wafat, sang paman membawanya ke Makkah
setelah mendapat restu dari ibunya, Salma. Setibanya di Makkah, orang-orang
Quraisy menyangka bahwa Muthalib membawa budak yang telah dibelinya dari
Yatsrib. “Itu adalah budak Muthalib (dalam bahasa Arab disebut ‘Abdul Muthalib’),”
sangka kaum Quraisy. Muthalib yang mendengar anggapan itu segera memberikan
klarifikasi, “Bukan, itu adalah keponakanku yang aku bawa dari Madinah.
Posisi Muthalib di Makkah setelah kewafatan Hasyim adalah sebagai as-Siqâyah
dan ar-Rifâdah (pemberi minum dan penjamu para jamaah haji), status sosial yang
sangat dihormati ketika itu. Selain memiliki kedudukan mulia di tengah kaumnya,
ia juga terkenal sangat dermawan sehingga dijuluki al-Faydh (orang yang amat
dermawan). (Muhammad Abu Syuhbah, As-Sîrah an-nabawiyah ‘ala Dhauil Qurâni was
Sunnah, tanpa tahun: juz 1, h. 152)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar