Sabtu, 16 Juli 2022

Abdul Muthalib, Sosok di Balik Penemuan Kembali Sumur Zamzam

 

Setelah Kabilah Jurhum menodai kesucian Kota Makkah dengan melakukan berbagai tindak kezaliman, sekutu Kabilah Kinanah dan Khuza’ah menyerang dan mengusir mereka dari tanah kelahiran Nabi Muhammad itu. Sebelum pulang ke negeri asalnya, Yaman, Jurhum menimbun sumur Zamzam agar jejaknya tidak diketahui oleh siapa pun.

Bertahun-tahun sejak penimbunan itu, Sumur Zamzam sudah tidak tampak lagi jejaknya. Betul-betul rata dengan tanah. Belum lagi dinamika geografis dan berbagai bencana alam yang mempengaruhi konstruk dataran Makkah dalam waktu yang cukup panjang. Abdul Muthalib merupakan tokoh utama dalam penemuan kembali Sumur Zamzam. Sebab, dialah orang yang mendapat ilham tantang posisi sumur suci itu dan menggalinya sendiri bersama anak satu-satunya, Haris. Oleh karena itu, tidak salah jika penulis singgung sedikit sosok kakek Rasulullah ini dan status sosialnya di Makkah. Dengan begitu bisa diketahui alasan Allah swt memilihnya sebagai penemu Zamzam setelah sekian lama hilang.

Semasa hidupnya Abdul Muthalib merupakan sosok yang sangat dihormati masyarakat. Nama aslinya adalah Syaibatul Hamd. Kata ‘syaibah’ berarti uban. Saat baru lahir tumbuh rambut putih di kepalanya, sehingga dia dinamai demikian. Nama Abdul Mthalib sendiri merupakan panggilan dari masyarakat yang kemudian lebih populer karena mulanya dikira dia adalah budak dari Muthalib, sang paman. Abdul Mutahalib sendiri berasal dari Yatsrib (nama sebelum Madinah). Begitu ayahnya, Hasyim, wafat, sang paman membawanya ke Makkah setelah mendapat restu dari ibunya, Salma. Setibanya di Makkah, orang-orang Quraisy menyangka bahwa Muthalib membawa budak yang telah dibelinya dari Yatsrib. “Itu adalah budak Muthalib (dalam bahasa Arab disebut ‘Abdul Muthalib’),” sangka kaum Quraisy. Muthalib yang mendengar anggapan itu segera memberikan klarifikasi, “Bukan, itu adalah keponakanku yang aku bawa dari Madinah.

Posisi Muthalib di Makkah setelah kewafatan Hasyim adalah sebagai as-Siqâyah dan ar-Rifâdah (pemberi minum dan penjamu para jamaah haji), status sosial yang sangat dihormati ketika itu. Selain memiliki kedudukan mulia di tengah kaumnya, ia juga terkenal sangat dermawan sehingga dijuluki al-Faydh (orang yang amat dermawan). (Muhammad Abu Syuhbah, As-Sîrah an-nabawiyah ‘ala Dhauil Qurâni was Sunnah, tanpa tahun: juz 1, h. 152)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar