Banyak sekali ungkapan dalam berbagai bahasa yang memuji diam dibandingkan dengan bicara.
“Kalau berbicara adalah perak maka diam adalah emas.” Yang Anda
ketahui sebelum Anda ucapkan adalah tawanan Anda dan setelah Anda
ucapkan maka Anda menjadi tawanannya.” “Menyesal karena diam, hanya
sekali, menyesal karena bicara, seribu kali.” Demikian sedikit dari
banyak ungkapan dan kata hikmah.
Namun kata orang bijak: Keistimewaan diam ketimbang berbicara seperti
yang tercermin dalam ungkapan di atas tidaklah mutlak. Membicarakan
kebajikan dengan baik lebih baik daripada diam.” Di sini pembicaraan
menjadi hiasan bagi si pembicara sedang diamnya yang diam
menjadikannya tampil tanpa hiasan.
Bicara yang baik memberi manfaat bagi pembicara dan pendengarnya
sedang diam hanya berpotensi bermanfaat untuk yang diam. Tidak ada
baiknya diam menyangkut pengetahuan dan tidak ada baiknya berbicara
berdasar ketidaktahuan. Diam pada tempatnya baik dan berbicara bila
dibutuhkan wajib. Yang diam menyangkut hak yang perlu diketahui
adalah setan yang bisu. Ini demikian dalam satu situasi berbicara harus
dikedepankan, lebih-lebih jika kandungan pembicaraan itu memiliki
dampak positif terhadap seseorang lebih-lebih jika terhadap orang
banyak.
Allah menilai berdosa siapa yang mengetahui sesuatu yang dibutuhkan tapi menyembunyikanya: Janganlah kamu menyembunyikan persaksian! Siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya hatinya telah berdosa. Begitu firman-Nya dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 283.
Sekian banyak hadis Nabi pun yang memperingatkan agar jangan
menyembunyikan pengetahuan yang berdampak buruk bila disembunyikan.
Memang jika telah ada satu pihak yang menyampaikannya, maka gugurlah
kewajiban itu terhadap yang lain, tetapi jika penyampaian orang lain
belum memadai atau belum memuaskan, maka janganlah diam menyangkut apa
yang Anda ketahui.
Tidak dapat disangkal bahwa berbagai pertanyaan telah diajukan kepada
para ulama, cendekiawan atau orang bijak, antara lain menyangkut
pilihan capres dan cawapres. Ada di antara mereka yang diam. Bisa jadi
karena merasa sudah ada yang menjawabnya dan ada juga yang sejak semula
telah menyatakan pandangannya. Kedua sikap di atas tidak tercela
khususnya pada awal masa kampanye.
Tapi kini ada perkembangan. Persaingan antara dua pasangan semakin
ketat, tarik-menarik simpati semakin kuat. Kampanye negatif pun semakin
marak. Lalu ada juga sekelompok yang tidak kecil dari masyarakat yang
belum menentukan pilihan padahal keterlibatan mereka dalam pemilihan
presiden dan wakilnya sangat dibutuhkan lagi dapat menentukan dalam
memenenangkan siapa yang dinilai lebih baik.
Nah, situasi ini menjadikan diam seribu bahasa tidaklah lagi bijak,
lebih-lebih jika yang bertanya itu mengandalkan jawaban sosok yang
ditanya. Di sini bukan saja bicara lebih baik daripada diam, tapi bicara diperlukan
karena diam dapat menjadikan si penanya semakin bingung bahkan salah
pilih. Tentu saja yang yang menjawab harus sangat bijaksana, tidak
berkampanye negatif apalagi hitam. Kalau tak dapat memberi jawaban yang
tegas dan nyata cukuplah dengan isyarat yang dipahami tanpa menyinggung
perasaan siapapun.
Akhirnya, “Mari berpuasa dengan tekad meningkatkan kecerdasan mental
dan spiritual, sambil berdoa – kiranya Pilpres berlangsung aman tertib
dan yang ditetapkan Allah sebagai Presiden dan wakilnya adalah yang
paling merakyat lagi merasakan gejolak hati masyarakat serta yang lebih
mampu menutup kebocoran dan berjuang mewujudkan Indonesia yang jaya dan
hebat.” Amin. [M.Quraish Shihab]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar