Selasa, 24 Mei 2016

Inilah Perbedaan Dampak Membaca di Media Sosial dan Buku


“Dari 100 orang yang membagikan tulisan saya via Facebook, hanya separuh yang membaca,” keluh seorang rekan, penulis artikel, sembari menunjukkan statistik di websitenya. “Artinya, mereka hanya mengambil kesimpulan informasi dari judulnya lantas membagikannya,” imbuhnya. Melimpahnya informasi di sosial media nampaknya membuat kita cenderung malas membaca. Bahkan, kadangkala dengan mudah kita share info-info sampah, sebagian berujung caci dan fitnah. Nicholas Carr pernah membahas penurunan minat membaca semenjak era google. Di era media sosial ini, daya tahan membaca kita nampaknya semakin berkurang. Jika dahulu masih dapat membaca dengan konsentrasi 3-4 lembar, semenjak era social media, tulisan 3-4 paragraf paling kita skip. Selain itu, kita juga lebih banyak membaca dengan teknik skimming. Sama halnya dengan membaca portal berita online yang dilakukan dalam sekedip mata. Ada hal lain yang perlu dikuatirkan. Menurut survey yang dilakukan oleh global web index, rata rata penggunaan social media di Indonesia cukup tinggi. Dalam seharinya, orang mengakses media sosial selama 2 jam 51 menit! Dari sisi jumlah, ada 79 juta user Facebook. Lebih dari 90% adalah usia produktif, antara 13 tahun-40 tahun. Hal ini kontradiktif dengan minat baca di Indonesia yang relatif rendah. Data statistik UNESCO pada 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya satu warga yang tertarik untuk membaca. Di sisi lain, media sosial seperti FB, dan Twitter adalah medium informasi yang sangat efektif. Akses informasi mudah didapat dengan sangat cepat. Sosial media tidak hanya menyuplai informasi, mereka membentuk proses berfikir kita. Apa beda membaca buku dan status media sosial? “Kita tidak hanya apa yang kita baca, tetapi bagaimana kita membaca,” kata Maryanne Wolf, psikolog dari Tufts University. Teknologi digital, termasuk di antaranya social media menawarkan efisiensi, kenyamanan, dan kecepatan informasi. Hal ini membuat kita merasa nyaman, tetapi menurunkan kemampuan membaca kita secara mendalam. Akibatnya berpikir dan berkontemplasi menjadi berkurang. Sosial media membuat kita cenderung, berenang di permukaan, bukan menyelam di kedalaman. Selayaknya membaca, berpikir dan mengambil kesimpulan dilakukan sebagai suatu proses untuk mencerna informasi. Proses berpikir, kita dapatkan dari membaca secara mendalam. Jika proses ini hilang bagaimana bisa bersikap adil sejak dalam pikiran? Nalar kritis dan daya pikir seseorang bertumbuh seiring banyaknya buku yang dibaca. Sederhananya buku menyediakan informasi, membaca adalah menyaring, dan kontemplasi adalah pengolahan informasi. Dengan adanya internet, termasuk di antaranya social media, proses ini menjadi semakin mudah. Kinerja menyaring dan mengolah informasi sebagian dilakukan oleh teknologi. Kita cenderung hanya menjadi decoder informasi. Akibatnya, kemampuan kita untuk menginterpretasi teks yang dapat memperkaya pemahaman ketika membaca secara mendalam turun secara drastis. Riset yang dilakukan oleh James Olds, professor di George Mason University, menyatakan otak seorang manusia dewasa masih dapat berkembang. Sel dalam otak secara rutin membentuk jaringan baru, menggantikan jaringan lama. Hal ini tentu saja sangat ditentukan dari bagaimana otak ini difungsikan. Kemampuan menganalisis informasi semakin berkurang berpotensi menjadikan kita tumpul. Di sisi lain, kita menjadi malas menganalisa secara mendalam. Baca judulnya dan jump to conclusion. Efeknya adalah, kita dapat menjadi generasi yang emosional dan gampang dipengaruhi. Membaca Secara Efektif Ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk menjembatani banjir informasi dan kapasitas membaca. Menyaring informasi adalah upaya yang tepat. kita tidak perlu merespon hal-hal yang hanya menguras energi. Jauh lebih banyak hal yang perlu dipahami daripada hal yang perlu dikomentari. Membaca perlahan, adalah cara lain untuk dapat mencerna informasi dengan baik. Cermati isi bacaan lalu cobalah menghubungkan ide-ide yang terkait. Pertimbangkan berbagai sudut pandang, jangan lupa juga untuk mengetahui prinsip-prinsip atau kunci dari bacaan yang dibaca. Dan yang terpenting, hantarkan pengetahuan dari bacaan tersebut ke dalam pikiran. Tetaplah kritis. Paradoks paling heboh di era medsos adalah membanjirnya informasi tetapi pengetahuan tidak bertambah. Sebagian malah hanya berisi fitnah. Sekedar melek informasi tidak cukup. Dan menjadi melek informasi di era media sosial justru sangat mudah. Yang dibutuhkan adalah melek literasi. Kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi informasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar