Minggu, 22 Desember 2013

7 Diktator Terkenal di Dunia dengan klub bola Favoritnya




1.Adolf Hitler – Schalke 04
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqhvKkPRu40gMTRpf-XaD_5gfOcnFn4HmKd-HPhD179QNJCvfeHGlfJ5CbKizCaSOuF7yRJs8E85u7rXJOQDv0aF2r2qdz-xLPiKfwOipWniPQ5ajS2qO5Neg_W0g_OjDKDh1P2jPboNjn/s320/adolf-hitler.jpg

The Fuhrer dilaporkan merupakan penggemar klub Schalke 04, juara Jerman enam kali ketika Hitler masih berkuasa. Klaim ini dimuat di koran The Times beberapa tahun lalu, namun kemudian dibantah. “Kami penasaran apa yang membuat koran The Times menganggap klaim ini sebagai fakta.”

2.Muammar Khadafi — Liverpool
: Sebuah mug Liverpool ditemukan di antara peninggalan mantan diktator Libya ini, yang bisa dijadikan indikasi bahwa Khadafi penggemar The Reds. Salah satu anak Khadafi yang bernama Al-Saadi juga berlatih bertahun-tahun menjadi pemain sepak bola profesional. Al-Saadi pernah menanam investasi di Juventus hingga diberikan posisi di dewan direktur tahun 2002. Dia juga pernah menimbang-nimbang untuk berinvestasi di Liverpool tapi tak pernah terlaksana.

3.Radovan Karadzic — Inter Milan
: Penjahat perang Bosnia ini merupakan penggemar Inter Milan karena dua pemain Serbia ada atau pernah ada di dalam skuad: Sinisa Mihajlović and Dejan Stanković. Menurut cerita keponakannya, sewaktu dalam pelarian Karadzic sempat beberapa kali mengambil risiko ketahuan hanya demi menonton pertandingan Inter Milan.

4.Osama Bin Laden — Arsenal
http://cdn.bleacherreport.net/images_root/images/photos/001/206/706/Osama-Bin-Laden-Supporters-React-With-Anger-Denial-To-News-Of-His-Death_crop_340x234.jpg?1304443225

 Banyak rumor mengatakan, pemimpin Al-Qaeda ini menggemari Arsenal karena pernah menonton langsung beberapa pertandingan ketika dia mengunjungi Inggris tahun 1970-an. Dia juga kabarnya membelikan kaus replika Ian Wright untuk putranya. Fans The Gunners sampai membuat yel-yel spesial: "Osama, woah-oh / Osama, woah-woah-woah-woah / Dia bersembunyi di Kabul / Dia cinta Arsenal."

5.Jenderal Franco — Real Madrid: Pemimpin Spanyol yang fasis ini terkenal sebagai seorang penggemar Madrid, sampai-sampai klub itu dianggap bagian resmi dari rezim. Lucunya, awalnya Franco mendukung Atletico Madrid (musuh Madrid).

6.Benito Mussolini — Bologna
: Diktator Italia yang fasis ini adalah penggemar setia Bologna sejak tim ini pertama kali terbentuk pada 1909. Bahkan Mussolini meresmikan stadion Bologna, dan mengatakan “Inilah contoh apa yang bisa dicapai dengan keinginan dan fasisme yang kuat.”

7.Josef Stalin — Dynamo Moscow: Klub ini didirikan oleh salah satu orang kepercayaan Stalin yang paling kuat dan ditakuti, Kepala KGB Lavrenty Beria dan banyak diisi orang-orang KGB selama beberapa puluh tahun. Paman Joe, sebutan lain Stalin, amat menganggap serius sepak bola: ketika Uni Soviet kalah dari Yugoslavia tahun 1952, dia amat murka dan membubarkan tim CSKA Moscow (yang menyumbang banyak pemain untuk timnas).
http://id.olahraga.yahoo.com/blogs/arena/klub-idola-para-diktator.html,

Israel Anggap PBB Anjing Menggonggong

Bagaimanakah Negara Palestina di mata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-moon? Menurut diplomat Korea Selatan ini, untuk menuju Negara Palestina Merdeka harus ada pembicaraan damai yang berujung pada pendirian dua negara: Palestina berdampingan dengan Israel.
Ban Ki-moon berpandangan Tahun 2014 merupakan waktu tepat untuk pembicaraan damai. Jangan sampai terlewatkan. Pembicaraan damai yang bertujuan menghentikan penjajahan yang telah berlangsung sejak 1967 serta mendirikan Negara Palestina Merdeka dan Berdaulat dengan batas-batas sebelum tahun 1967.
Ini berarti Madinatul Quds (Jerusalem) Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai (telah dikembalikan ke Mesir), Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan (Suriah) yang telah diduduki Israel sejak 1967 harus dikembalikan kepada Palestina dan Arab. Menurut Ban, hanya dengan itu bangsa Palestina bisa hidup berdampingan dengan negara Israel dengan rasa aman.
Namun, lanjutnya, Al Quds (Madinatul Quds) harus dikeluarkan dari materi pembicaraan damai. Ia sepakat Al Quds merupakan ibukota kedua negara, dengan syarat harus ada peraturan yang menjamin semua orang bisa mengunjungi tempat-tempat yang dianggap suci oleh para pemeluk agama. Selain itu, katanya, harus ada penyelesaian adil untuk memulangkan jutaan warga Palestina di pengasingan.
Pandangan Ban Ki-moon itu disampaikan ketika ia memberi pidato mengenai keputusan PBB yang menjadikan '2014 sebagai ‘Tahun Solidaritas Buat Bangsa Palestina' pada akhir November lalu. Keputusan itu diambil melalui pemungutan suara negara anggota PBB. Sejumlah 110 setuju, 7 menolak, dan 54 abstain.
Tahun lalu, pada bulan yang sama, Sidang Umum PBB juga telah menyetujui menjadikan Palestina sebagai pengamat non-anggota. Status ini secara otomatis merupakan pengakuan terhadap Negara Palestina. Pada saat itu, 138 negara anggota menyatakan setuju, 9 menolak, dan 41 abstain. Bisa dipasikan yang menolak adalah AS dan Israel serta konco-konconya.
Status baru Palestina di dunia internasional ini tentu patut disambut gembira. Namun, apakah status, pengakuan, dan solidaritas ini banyak artinya buat masyarakat Palestina yang sehari-hari hidup menderita di bawah pendudukan Zeonis Israel? Bukankah rakyat Palestina sudah terlalu sering mendengar janji-janji dari para pemimpin dunia?
Faktanya, Zeonis Israel, terutama pada pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sekarang ini, telah semakin berhasil menancapkan pengaruh Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan. Caranya, antara lain dengan mengubah ciri-ciri khas Palestina dengan indentitas baru Yahudi. Termasuk nama-nama kampung, desa, dan jalan.
Menurut pemerhati masalah Palestina, 'Ato'ullah Marajoni, yang menulis di media Al Sharq Al Awsat edisi 9 Desember lalu, apa yang dilakukan Zeonis Israel ini sebenarnya strategi lama. Ia menunjuk sebuah buku berjudul 'Tahwidul Quds' (Mengyahudikan Al Quds) yang ditulis Rouhi Al Khatib pada 1970. Juga buku yang ditulis sastrawan dan politisi Palestina, Imil Habibi, tentang 'Mengyahudikan Palestina dan Orang-orang Palestina'. Di dalam kedua buku itu disebutkan bagaimana mengyahudikan budaya, gaya hidup, dan cara berpikir warga Palestina, terutama mereka yang hidup di bawah pendudukan Zeonis Israel.
Strategi 'mengyahudikan' Palestina ini tidak bisa dianggap remeh. Ia harus dipandang sebagai sama bahayanya dengan perang bersenjata. Strategi ini secara pelan-pelan tapi pasti akan menghilangkan identitas warga dan wilayah-wilayah Palestina yang diduduki Zeonis Israel. Yang terakhi ini kemudian menggantikannya dengan identitas Yahudi.
Yang paling gencar diserang oleh 'strategi mengyahudikan Palestina' ini adalah Al Quds bagian timur yang banyak dihuni warga Palestina. Hampir tiap hari warga Palestina di wilayah ini diancam, diteror, serta diusir. Tujuannya agar mereka tidak kerasan dan kemudian meninggalkan rumah-rumah mereka. Rumah-rumah warga Palestina ini kemudian dihancurkan dan dibangun pemukiman baru Yahudi.
Berikutnya adalah mengganggu keberadaan Masjidil Aqsa yang merukan tempat suci yang paling sensitif bagi umat Islam. Selain merusak bagian-bagian dari masjid yang merupakan kiblat pertama umat Islam ini, Zeonis Israel juga melarang-anak-anak muda shalat di masjid. Setiap orang Palestina yang masuk ke tempat suci ini harus diperiksa ketat. Sejumlah kelompok warga Yahudi juga menggelar perbagai pertunjukan musik yang hingar bingar tepat di depan masjid, yang bahkan sering berlangsung pada waktu-waktu shalat.
Semua itu dimaksudkan agar ketika berlangsung pembicaraan damai dengan delegasi Palestina, posisi Zeonis Israel di pihak yang kuat. Mereka akan mendasarkan pada bukti bahwa wilayah-wilayah yang diduduki selama ini secara faktual adalah beridentitas Yahudi: penghuni, budaya, gaya hidup, dan bahkan nama-nama kampung, desa, dan jalan-jalan. Itu sebabnya, Netanyahu menolak keras syarat bahwa pembicaraan damai dengan Palestina dikaitkan dengan pembangunan pemukiman baru Yahudi.
Dalam kondisi seperti itulah PBB menjadikan 2014 sebagai 'Tahun Solidaritas terhadap Bangsa Palestina'. Pertanyaannya, apa yang bisa diperbuat oleh PBB dan bahkan oleh Ban Ki-moon? Selama ini Zeonis Israel pun telah lama tidak memandang badan dunia itu.
Berbagai kecaman dan resolusi PBB (Majelis Umum dan DK) dianggapnya sepi. Bahkan dalam pembicaraan damai dengan Palestina, Zeonis Israel ogah melalui PBB. Mereka hanya mau pembicaraan secara langsung dengan delegasi Palestina yang difasilitasi oleh AS. Sementara Ban Ki-moon meskipun menjabat sebagai Sekjen PBB tidak mempunyai power. Tidak memiliki kekuatan memaksa. Ia tak lebih dan tak kurang hanya sebagai moderator dari negara-negara anggota badan dunia itu.
Apa pun, keputusan PBB untuk menjadikan 2014 sebagai tahun solidaritas untuk bangsa Palestina patut disambut gembira. Juga harapan-harapan besar Ban Ki-moon untuk bangsa Palestina. Walaupun kita juga tahu bahwa janji-janji PBB dan anggotanya, termasuk kecaman-kecaman mereka, ibarat tong kosong yang nyaring bunyinya. Zeonis Israel telah lama menganggap PBB hanyalah gong-gongan anjing. Mereka akan terus membangun pemukiman baru Yahudi dan mengubah apa pun yang berbau Palestina dengan identitas Yahudi. (By REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri)

Valentino Rossi Dukung Langsung Inter Milan

Juara Dunia MotoGP tujuh kali, Valentino Rossi ikut menyaksikan secara langsung Derby della Madonnina di Giuseppe Meazza, Senin (23/12) dini hari WIB. Tentu saja Rossi bakal mendukung Inter yang bertindak sebagai tuan rumah untuk bisa mengalahkan AC Milan. Hal itu lantaran pembalap Yamaha tersebut merupakan seorang Interisti.

Rossi mengatakan sangat kagum dengan atmosfer stadion berkapasitas 80 ribu penonton itu. Apalagi, laga ini terasa spesial lantaran merupakan pertama kalinya, Presiden Erick Thohir menyaksikan langsung laga bergengsi di Serie A Liga Italia itu.

"San Siro. Inter-Milan. Magica atmosfera," katanya lewat akun Twitter, @ValeYellow46, yang sekaligus mengunggah foto bersama tiga rekannya.

I Nerazzurri kini menempati urutan keenam klasemen di bawah Hellas Verona  dengan torehan 28 poin. Adapun, Rossoneri menghuni urutan ke-13 dengam koleksi 19 poin.

Steve Jobs, Shakira, dan Arab Miskin

Dunia tentu mengenal sejumlah sosok berikut: Steve Jobs, Shakira, Carlos Slim Helu, Carlos Menem, dan Sharif Bassouni. Steve Jobs adalah pendiri dan CEO Apple Inc. Ia meninggal dunia di California, AS, dua tahun lalu.

Shakira penyanyi terkenal dari Kolombia dan kini menetap di AS. Nama Shakira semakin menjulang saat ia membawakan lagu ‘Waka Waka (This Time for Africa)’ pada upacara pembukaan Piala Dunia di Afrika Selatan pada 2010.

Carlos Slim merupakan pengusaha dari Meksiko dan orang terkaya sejagad versi majalah Forbes. Kekayaannya bersalip-salipan dengan dua taipan dari AS, Bill Gates dan Warren Buffett.  
Sedangkan Carlos Menem adalah Presiden Argentina (1989-1999).  
Sementara Syarif Basyouni yang di Amerika ditulis Cherif Bassiouni dikenal sebagai Bapak Hukum Kriminal Dunia Modern. Dialah salah seorang yeng meletakkan dasar-dasar hukum internasional, terutama hukum kriminal. Ia juga sering mengepalai tim penyelidikan PBB untuk kejahatan perang/kriminal dan pelanggaran HAM di berbagai negara. Dari Bosnia, Irak, Libya hingga Bahrain.

Nama-nama tersebut bukanlah warga asli negara setempat. Mereka adalah kaum imigran atau keturunan imigran dari negara-negara Arab. Menurut Husein Shabaqshy, kolomnis media Al Sharq Al Awsat, para imigran Arab yang kini hidup di luar negeri jumlahnya puluhan juta.

Pada umumnya mereka melarikan diri untuk menghindari perang, konflik dalam negeri, dan perlakuan represif rezim penguasa. Intinya, mereka tidak lagi nyaman hidup di negeri sendiri lalu memilih hijrah ke luar negeri alias pindah negara.

Steve Jobs misalnya.  Ayahnya adalah Abdul Fattah Al Jandali, 80 tahun, dan kini hidup di Nevada, AS. Al Jandali merupakan imigran dari Arab. Ia lahir di Homs, Suriah. Orangtuanya tuan tanah. Pada usia 18 tahun, Al Jandali pergi ke Beirut untuk belajar di American University. Di ibukota Lebanon itu ia jadi aktivis pergerakan Nasionalisme Arab dan memimpin demonstrasi melawan Presiden Lebanon, Bechara Al Khoury, yang dituduh sebagai antek penjajah.

Meskipun Al Khoury kemudian mengundurkan diri, situasi politik di Lebanon telah mendorong Al Jandali melarikan diri ke Amerika. Ia kemudian kuliah di Universitas Colombia dan kemudian Universitas Wisconsin hingga memperoleh gelar PhD di bidang ekonomi dan political science.

Saat kuliah, ia berkenalan dengan mahasiswi Joanne Carol Schieble hingga mempunyai anak yang kemudian dikenal dengan Steve Jobs. Lantaran orangtua Schible menolak hubungan anaknya dengan pemuda Arab, Al Jandali kemudian meninggalkan Schieble dalam kondisi hamil. Nama Steve Jobs diberikan oleh orangtua adopsinya, Paul dan Clara Jobs.

Sedangkan Shakira yang bernama lengkap Shakira Isabel Mubarak Ripoll merupakan generasi ketiga keluarga imigran Arab di Colombia. Kakek dan neneknya hijrah dari Lebanon untuk menghindari situasi politik yang serba tidak menentu menjelang keruntuhan kekhalifahan Turki Usmani.

Kakek dan nenek Shakira menetap di New York dan kemudian pindah ke Colombia. Di negara itu Shakira lahir dari orang tua William Mubarak Syadid dan Nidia Ripoll.

Berikutnya adalah Carlos Salim (Slim) Helu, 73. Ia merupakan generasi kedua imigran Lebanon di Meksiko dari orangtua Julian Salim Haddad dan Linda Helu. Ayahnya yang lahir dengan nama Khalil Salim Haddad saat muda melarikan diri ke Meksiko untuk menghindari kekerasan dari pemerintahan Turki Usmani di Lebanon.

Termasuk dari generasi kedua imigran Arab adalah Carlos Munem. Mantan Presiden Argentina ini lahir pada 1930 di sebuah kota di Provinsi La Rioja, Argentina. Kedua orangtua Munem berasal dari Kota Yabrud, barat daya Suriah dan berbatasan dengan Lebanon. Mereka melarikan diri dari Suriah untuk menghindari konflik politik menjelang kejatuhan Turki Usmani.

Sedangkan Mahmud Syarif Basyouni berimigrasi ke AS pada masa Presiden Mesir Jamal Abdul Nasir. Ia meninggalkan Mesir karena menolak bergabung dengan divisi intelejen yang bertugas mengintrogasi dan menyiksa para tahanan politik. Atas bantuan teman-temannya ia kemudian berhasil menyelinap naik kapal laut dari Alexander menuju Italia dan kemudian ke New York, AS.

Husein Shabaqshy menjelaskan, imigrasi Arab ke luar negeri terjadi secara periodik. Periode pertama terjadi menjelang dan setelah runtuhnya Kekhalifahan Usmaniyah. Saat itu, Turki Usmani yang kalah pada Perang Dunia I dijuluki sebagai negara sakit. Kekuasaannya yang luas lalu jadi bancaan Inggris, Prancis, Italia, dan Jerman. Jutaan warga Arab, terutama dari wilayah Syam (Suriah dan Lebanon), yang khawatir dengan kehidupan mereka lalu memilih hijrah ke Eropa dan Amerika.

Periode hijrah berikutnya adalah ketika berdiri negara Israel di wilayah Palestina. Khawatir atas pembantaian oleh Zeonis Israel, jutaan warga Palestina kemudian meninggalkan negaranya.

Gelombang imigrasi Arab ini berlanjut ketika Presiden Mesir, Jamal Abdul Nasir, yang berhaluan sosialis menasionalisasikan perusahaan-perusahaan swasta. Ribuan orang kaya Mesir kabur ke luar negeri dan kemudian menetap di Amerika dan Eropa.

Perang saudara di Lebonon yang berlangsung sekitar 22 tahun juga telah mengakibatkan gelombang hijrah besar-besaran warga Lebanon. Kini jumlah imigran Lebanon bahkan lebih besar dari penduduk yang tinggal di dalam negeri. Sebagian besar mereka menetap di Brasil, Argentina, Kanada, Kolombia, Australia, Prancis, Inggirs, Veneuzela, dan AS. Jumlah keturunan Lebanon di luar negeri mencapai 16 juta orang, sementara penduduk Lebanon kurang dari 4 juta orang.

Perang Iran-Irak dan kemudian aneksasi Irak (Saddam Husein) ke Kuwait juga telah menyebabkan sejumlah warga Arab meninggalkan negaranya. Namun, gelombang imigrasi Arab yang paling mengerikan justru terjadi dalam beberapa tahun ini. Yakni tahun-tahun munculnya apa yang disebut Al Rabi' Al Araby atau Musim Semi Arab.

Sayangnya, Musim Semi yang diharapkan membawa perbaikan kepada kehidupan rakyat itu tidak terjadi. Jauh panggang dari api. Tunisia, Mesir, Libia, dan Yaman terus bergolak. Sementara konflik di Suriah juga terus memakan korban. Begitu juga di Irak. Yang menjadi korban adalah puluhan juta rakyat.

Pertikaian politik dan perebutan kekuasaan telah membuat rakya sengsara. Akibatnya jutaan rakyat miskin kini dalam daftar tunggu untuk meninggalkan negaranya.

Namun, berbeda dengan gelombang imigrasi Arab sebelumnya yang pada umumnya adalah orang kaya dan aktivis politik, kini mereka yang ingin meninggalkan negaranya adalah orang-orang miskin yang rentan terhadap bujuk rayu mafia internasional. Akibatnya, banyak di antara mereka yang kemudian menjadi korban keganasan air laut dan tandusnya padang pasir Afrika. Banyak di antara mereka yang kemudian tewas mengenaskan sebelum mencapai negara impian.

Ya, inilah ironi negara-negara Arab. Negara-negara yang dikenal kaya raya, namun rakyatnya sengsara akibat kerakusan penguasa.  Para Arab miskin itu boro-boro bermimpin menjadi Steve Jobs, Shakira, Carlos Salim, Carlos Munen atau Sharif Bassouni,  bisa selamat di negara tujuan pun sudah untung. (
Oleh
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri)